Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa itu Spatles?

22 April 2024   12:59 Diperbarui: 14 Oktober 2024   10:28 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebab Sekolah Dasar Negeri tempatnya bersekolah saat itu merupakan sekolah yang baru saja berdiri dan murid-murid kelas dua hingga kelas lima adalah murid-murid pindahan. Belum ada kelas enam di tahun pertama Sekolah Dasar Negeri itu ketika memulai kegiatan belajar mengajarnya.

Orang tidak tahu jika selama menjadi murid SMP anak itu tak pernah masuk rangking. Orang tidak pernah tahu bahwa anak itu penakut, pengecut, introvert akut. Orang tidak tahu bahwa anak itu gagal masuk Sekolah Menengah Teknik Grafika lantaran tidak lulus tes warna dan tes fisik. Tak banyak orang tahu bahwa anak itu akhirnya memutuskan jeda sekolah, nyantri dan pulang dari pesantren setelah hanya menjalaninya tiga bulan.

Orang tak pernah tahu bahwa ketika anak itu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah agama setelah setahun vakum dari belajar formal, ia sama sekali tak mengerti bahasa Arab yang telah dipelajarinya selama tiga tahun.

Orang juga tak pernah tahu saat naik ke kelas 2 (dua) dan tiba memilih penjurusan, anak itu inginnya masuk jurusan sosial tapi guru wali kelasnya melakukan spatles. Wali kelasnya meminta dirinya masuk kelas fisika, dan anak itu tak bisa menolak. Di kelas fisika anak itu tak punya prestasi.

Anak itu terus tumbuh dewasa. Setamat sekolah agama (Madrasah Aliyah) yang sederajat Sekolah Menengah Atas (SMA), dia tak lanjut kuliah. Selain gagal ikut tes perguruan tinggi negeri di sana-sini, orang tuanya tak mampu membiayainya kuliah di perguruan tinggi swasta. Dan sedikit orang yang tahu bahwa dia sempat mendapatkan pekerjaan beberapa kali tetapi keluar dari pekerjaan itu tak lebih dari tiga bulan. Mentalnya lemah. motivasinya nyaris nol. 

Ketika pada akhirnya orang tahu bahwa dirinya tidak kuliah, tidak bekerja dan menganggur, lagi-lagi spatles masih terjadi. Suatu hari saat dirinya duduk dalam menganggurnya, seorang teman kakaknya berkata, "Ini nih anak muda cerdas. Bakal kerja enak di perusahaan hebat dengan karir moncer. Kelak pasti sukses buka usaha sendiri".

Hingga tiba pada waktunya ia mendapatkan pekerjaan, spatles pada dirinya masih terus berlanjut. Bahkan pernikahannya diduga terjadi akibat spatles orang lain atas dirinya. Apakah spatles berdampak baik?  

Apa yang pernah orang lain nilai tentang diri kita? Positif atau negatif? Dispatles atau distigma? Boleh jadi setiap hari kita mendapat spatles atau stigma. Namun apapun penilaian yang kita terima, hal terpenting adalah bagaimana menyikapinya. Apakah spatles atau stigma tersebut memotivasi atau malah memolusi?

Dari sisi psikologis, menurut Goffman (1963) stigma adalah diskredit atribut secara luas yang dilekatkan kepada seorang individu yang dapat mengurangi inidividu tersebut dari keseluruhan dan kebiasaan yang dimiliki individu tersebut sampai pada tahap yang sangat rendah. 

Stigma sendiri dalam bahasa Inggris  berarti aib; noda; cacat, maupun bahasa Indonesia merupakan pinjaman kata dari bahasa Latin stigmata-stigma, yang berarti sebuah 'tanda, cap'. Dan juga dari bahasa Yunani Kuno stizein yang berarti 'untuk dirajah'.

Sumber lainnya mengatakan stigma berasal dari bahasa Latin yang berarti luka potong atau bekas luka. Bentuk jamaknya disebut stigmata yang dalam Gereja Katolik diartikan sebagai tanda luka-luka  dalam diri seseorang, yang sama persis dengan luka-luka Yesus akibat derita penyaliban. Sedangkan orang yang mengalaminya disebut stigmatis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun