Sedikit agak keren sih orang yang hidup dengan ekonomi hanya cukup disebut middle class atau kelas menengah. Jadi kebayang ke suatu masa ketika untuk mengetahui batasan kemiskinan dibuat sinyal petunjuk dengan istilah 'di bawah garis kemiskinan', lalu petunjuk itu menjadi batasan data untuk memetakan wilayah-wilayah miskin atau tertinggal.
Sementara jika merujuk istilah tersebut, middle class (kelas menengah) atau bisa dibilang ekonomi pas-pasan adalah kelompok yang dinilai susah kaya atau rentan miskin, masih tergolong di garis kemiskinan.Â
Kelas menengah dikatakan pas-pasan atau rentan miskin karena kemampuan ekonomi orang-orang yang berada di kelompok tersebut mudah goyah saat diterpa masalah ekonomi.Â
Ketika misalnya, muncul biaya sekolah anak, biaya rumah sakit, biaya persalinan atau biaya lainnya yang mempunyai nilai cukup besar untuk bisa dibayar kontan dengan penghasilan pas-pasan oleh kelas menengah, pengeluaran untuk biaya-biaya yang tak terduga tersebut tentunya akan menguras kantong yang sedianya sudah diperuntukkan bagi kebutuhan sehari-hari hingga hingga akhir bulan.Â
Di titik itu perekonomian kelas menengah mulai goyah, hutang mulai terbangun. Jika di bulan berikutnya tak mampu membayar lunas maka di posisi tersebut, kelas menengah bisa beralih ke kelas menengah bawah atau dalam konteks istilah 'di bawah garis kemiskinan', masuk ke dalam garis kemiskinan.Â
Karena peristiwa-peristiwa semacam itulah kelas menengah disebut rentan miskin. Apabila demikian, bagaimana cara kelas menengah bisa menghindar dari kerentanannya?Â
Era digitalisasi dengan eksistensi beraneka macam platform digital dan platform media sosial di dalamnya, yang menawarkan beragam monetisasi dari berbagai sisi adalah cara generasi topping bersama karakteristik yang menyertainya bisa membebaskan kelas menengah dari himpitan ekonomi. Bagaimana caranya?
Sebelum masuk pada bahasan cara, generasi topping, yang  berangkat dari etimologi makna asal katanya yang berarti tindakan seseorang atau sesuatu yang berada di puncak, memberikan pengertian bahwa seseorang yang masuk kategori generasi topping merupakan orang-orang yang seharusnya berupaya untuk mencapai puncak atau dengan kata lain berusaha mendapatkan atau meraih keberuntungan atau keberhasilan.Â
Dengan tawaran yang terbilang dijanjikan, nasib kelas menengah di generasi ini bisa berubah dan terbebas dari himpitan ekonomi hanya dengan ikut aktif di dalamnya. Kemudian di masa selanjutnya, tidak akan ada lagi narasi bahwa kelas menengah adalah kelompok yang dinilai susah kaya.Â
Sebab generasi topping merupakan generasi yang memanfaatkan flatform digital dan terutama media sosial dengan cara aktif menempatkan konten-konten yang cenderung memiliki daya jual ekonomis sehingga berada di dalamnya berarti mempunyai fasilitas, media atau peluang untuk menemukan dan mendapatkan nilai-nilai ekonomi.
Sementara pada praktiknya, nilai-nilai ekonomi yang bisa diraih oleh generasi topping terbilang tidak sulit untuk dilakukan. Sebab sudah banyak contoh nyata yang terbukti berhasil menaikkan kelasnya bahkan hingga mampu meraih kekayaan bombastis.Â
Di era generasi topping setiap orang punya kesempatan untuk berada di puncak, yang diperlukan hanya membuat konten secara konsisten yang lalu ditempatkan di berbagai platform digital atau flatform media sosial.
Konten-konten yang ditempatkan akan memberikan identifikasi profesi pembuatnya sebagai konten kreator hingga mampu membentuk dirinya ke profesi lain seperti blogger, vlogger, youtuber, influencer, story teller, podcaster, streamer, gamer, pedagang online shop atau profesi digital lainnya.Â
Memang untuk meraih posisi puncak sampai bisa mendapatkan nilai-nilai ekonomisnya tidak sesederhana apa yang tampak. Tapi setidaknya, dengan menjadi bagian dari generasi topping, kesempatan kelas menengah untuk membebaskan diri dari himpitan ekonomi tidak saja jauh lebih besar, melainkan juga berpeluang menjadi kaya.Â
Cara-cara yang sangat mungkin dilakukan untuk terbebas dari himpitan ekonomi dan mendapatkan kekayaan bila kelas menengah menjadi bagian dari generasi topping yang aktif adalah dengan membuat konten-konten kreatif, inovatif, menarik apalagi bila mengandung unsur edukasi atau kemanfaatan.Â
Baik konten berupa teks atau tulisan, suara atau audio, gambar atau visual, video atau audio-visual, dan gabungan semua bentuk itu, yang kemudian diposting atau ditempatkan di platform digital atau media sosial.Â
Produksi konten-kontennya lalu dibagikan untuk mendapatkan atensi publik, yang dengan atensi tersebut akan membentuk enggagement dan algoritma positif yang bisa menghadirkan suatu fase viral, trending, headline, fyp atau yang setara dan ujungnya meraih sukseskadabra atau puncak.Â
Di akhir pencapaian itulah popularitas terbentuk dan menyerupa ke berbagai sebutan semisal microcelebrity; selebgram, seleb tiktok, seleb X, influencer atau lainnya.Â
Berikutnya, nilai-nilai ekonomis akan segera berdatangan dengan sendirinya. Diundang oleh banyak media sebagai tamu podcast atau talk show, tawaran kolaborasi, bintang iklan, endorsemen, produk apapun yang dijual akan cenderung meledak di pasaran atau nilai-nilai ekonomis lainnya.Â
Tetapi untuk menggapai itu, selain diperlukan kemauan dan konsistensi dalam memproduksi konten, diperlukan juga ciri khas atau karakter khusus pembentuk branding, yang dengannya atensi publik, enggagement, algoritma positif hadir dan menciptakan fase viral, trending, headline, fyp atau yang setara. Kemudian boom atau sukseskadabra tiba. Himpitan ekonomi terbebas, pundi-pundi kekayaan terbentang di depan mata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H