Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Seorang Matador Membuat Banteng-banteng Politik Mengembik

20 Februari 2024   19:45 Diperbarui: 21 Februari 2024   09:43 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ferdinand dan El Primero. Sumber: movieforkids.it/imissforest.wordpress.com

"Seorang matador yang tampak diam di kandang bersama ribuan banteng politik, jauh lebih berbahaya ketimbang seorang matador yang berhadapan dengan satu atau dua ekor banteng di dalam arena"

Di dalam arena, seorang matador yang secara harfiah memiliki arti pembunuh, disebut sebagai torero atau toreador ketika menaklukan atau menumbangkan banteng-banteng di dalam arena pada sebuah pertunjukkan.

Seorang torero baru bisa disebut matador ketika sudah dinilai ahli dan punya banyak pengalaman dalam mengalahkan banyak banteng di arena.

Dalam sejarah pertunjukkan matador di negara asalnya, Spanyol, dikenal salah satu sosok matador ternama sepanjang masa bernama Juan Belmonte, yang teknik-tekniknya dianggap merevolusi pertarungan itu dan kemudian menjadi standar dalam penilaian pertunjukkan matador hingga hari ini.

Belmonte memperkenalkan teknik-teknik baru yang belum pernah digunakan oleh matador sebelumnya. Seperti teknik berdiri tegak, hampir tidak bergerak dan lebih dekat ke  tanduk banteng.

Ia juga mengalihkan serangan banteng dengan kerja keras yang terampil sehingga tanduknya hampir tidak mengenai dirinya dan mampu menghindar, mengelak dan menguasai banteng, yang boleh disebut sebagai seni atau keterampilan menguasai banteng atau faena. 

Ernest Hemingway, seorang novelis dan pecinta Amerika, menulis (dalam, Death in the Afternoon, 1932) bahwa "Belmonte akan melilitkan banteng di sekelilingnya seperti ikat pinggang.

Tetapi selain dibutuhkan keahlian teknik faena, seorang matador ternyata didampingi oleh 2 orang penusuk banteng atau picador, dan dibantu oleh 3 orang penusuk jarum ke punggung banteng atau banderillero.  

Maka dengan teknik yang dikuasainya, seorang matador dapat mempermainkan agresivitas seekor banteng dengan menggunakan sebuah muleta, yakni selembar kain merah yang digantung atau dibentangkan pada sebuah kayu atau tongkat yang berfungsi untuk memancing amarah atau perhatian si banteng.

Demikianlah sekilas gambaran tentang seorang matador yang berhadapan dengan satu atau dua ekor banteng di dalam arena, dan menunjukkan keahliannya dalam menaklukan, menumbangkan atau pada akhirnya membuat banteng mengembik. Tidak lagi mendengus, menggeram dan menyeruduk.

Di sisi lain, seorang matador yang tampak diam di kandang bersama ribuan banteng politik, jauh lebih berbahaya ketimbang seorang matador di arena dalam gambaran pertunjukkan permainan matador sungguhan tadi, adalah deskripsi terhadap situasi politik yang belakangan ditunjukkan oleh realitas yang terjadi di kubu partai terbesar di tanah air, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berlambang banteng, yang sepertinya terlihat tidak sedang baik-baik saja.

Tetapi siapa sosok sang maestro penakluk banteng-banteng politik alias matador yang mampu membuat banteng-banteng politik yang selama ini dikenal kuat, ganas, solid atau gagah perkasa, kini terdengar mengembik?

Matador politik atau sebut saja matpol biasanya diusung oleh partai berlambang banteng dari internal kepartaian yang tentu saja merupakan kader atau bagian dari anggota partai berlambang banteng itu sendiri.

Seorang anggota atau kader banteng yang dinilai memiliki kemampuan dan berpotensi meraih massa, umumnya akan diusung sebagai calon baik untuk legislatif maupun eksekutif.

Akan tetapi, proses tersebut sepertinya mengabaikan potensi lain yang sebelumnya tidak dapat diduga oleh kalangan elite partai, yakni kemungkinan lahirnya seorang matpol yang bisa saja mengambil alih partisan dan simpatisan partai secara keseluruhan.

Dalam sejarah partai berlambang banteng, pernah terjadi suatu masa ketika tanpa elite partai sadari, telah mengundang masuk seseorang yang kelak ternyata adalah maestro matador politik atau maestro matpol, yang mendapatkan keahliannya dari genetik garis keturunan sang ayah.  

Kader itu tak lain dan tak bukan adalah Megawati Soekarnoputri yang informasinya mulai bergabung dengan PDI pada tahun 1987 dan berhasil terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di debut pertamanya.

Meski kemudian tidak terpilih kembali, tetapi sejak itu nama Megawati Soekarnoputri mulai menjelma sebagai matador politik atau matpol. Terbukti pada tahun 1993, enam tahun setelah keanggotaannya, potensi yang terabaikan oleh elite partai berlambang banteng ketika itu telah membuat banteng-banteng mengembik dan menjadikan sang matador sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia.

Selanjutnya, walaupun pemerintah orde baru saat itu mencoba ikut campur untuk meruntuhkan sang matador dengan turut menginjeksi kongres PDI di Medan pada 1996 dan melenggangkan Soerjadi menjadi ketua umum untuk menciptakan dualisme kepemimpinan, sang matador tetap berdiri tegak di tengah banteng-banteng.

Rencana penaklukan sang matador ketika itu bahkan hingga melakukan penyerangan ke kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, pada 27 Juli 1996. Kejadian yang kemudian dikenal sebagai 'Peristiwa Kudatuli' membuat Megawati Soekarnoputri tidak dapat mengikuti Pemilihan Presiden 1997.

Namun perjalanan sang matador dalam mengendalikan dan membuat banteng-banteng mengembik kembali menunjukkan tajinya selepas keruntuhan rezim orde baru. 

Hal tersebut terjadi pada 1 Februari 1999 saat PDI berganti nama menjadi PDI Perjuangan dengan Megawati Soekarnoputri terpilih kembali sebagai ketua umum, dan menjadikannya seorang matador legenda di tubuh  partai.  

Sampai puncaknya, sang legenda matador politik atau matpol menjadi orang nomor satu di Indonesia untuk menggantikan Presiden Abdurahman Wahid yang dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 23 Juli 2001.

Lain Megawati Soekarnoputri lain pula Joko Widodo. Kemampuan Joko Widodo atau Jokowi dalam mengendalikan dan membuat banteng-banteng mengembik terbilang revolusioner. Apalagi Jokowi tidak berangkat dari genetik garis keturunan, birokrat atau negarawan.  

Jokowi mantap bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada sekitar tahun 2004. Hanya dalam kurun waktu setahun, sepertinya Jokowi mulai dinilai sebagai sosok matador ketika bersama FX Hadi Rudiyatmo dipercaya maju sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota Solo tahun 2005.

Setelah terpilih di tahun 2005 dan membuat masyarat Solo puas serta bangga, Jokowi dan FX Rudiyatmo kembali terpilih di pilkada Solo untuk periode 2010-2015 dengan kemenangan jumlah suara yang fantastis, 90.09 persen.

Melalui muleta kesederhanaan, kejujuran dan kesantunan yang tampak melekat di mata masyarakat yang ditunjukkan lewat konsep blusukan, sepertinya Jokowi juga mulai menunjukkan faena-nya. Sehingga mampu mengendalikan banteng-banteng politik baik partisan maupun simpatisan.

Maka belum genap lima tahun masa kepemimpinan periode keduanya di Solo, Jokowi diboyong oleh partai banteng dan Gerindra ke Jakarta untuk ikut Pilkada, dan lagi-lagi, sosok yang mulai terbentuk menjadi sang matador memenangkan pemilihan. Jokowi bersama Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama mengalahkan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.

Belum cukup di sana, baru dua tahun memimpin Jakarta, sang matador kembali diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan  bantuan picador dan banderirello koalisi bersama Jusuf Kalla, dan lagi, kala itu Jokowi bersama Jusuf Kalla memenangkan Pilpres 2014. Lima tahun kemudian, Jokowi kembali menang Pilpres bersama Ma'ruf Amin.

Setelah dua periode dan dalam waktu dekat sosok Jokowi, yang telah mempunyai kemampuan dalam mengendalikan banteng-banteng akan mengakhiri masa jabatan, keahliannya sebagai matador politik atau matpol tampak cenderung mulai digunakan untuk mengungguli matador-matador lainnya dengan cara keluar dari kandangnya.   

Fakta tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil reportase pemilu 2024 dimulai sejak pencalonan putra sulungnya, Gibran Rakabuming hingga terbaca pada hari pencoblosan atau hari kasih suara yang bertepatan dengan hari Valentine dan telah usai dilaksanakan dengan hasil pencoblosan yang menunjukkan bahwa keahlian matadornya dalam mengendalikan banteng-banteng masih mumpuni meskipun dari luar kandang.  

Memang hasil tersebut belum dapat diketahui secara pasti. Tetapi hasil hitung cepat alias quick count dan real count sementara menunjukkan angka untuk kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.

Dan seperti diketahui, tanpa sentuhan Jokowi rasanya sangat sulit bagi pasangan Prabowo-Gibran untuk bisa memenangkan pemilihan presiden, terutama jika harus mengalahkan salah satu partai terkuat dengan kekuatan partisan dan simpatisan yang seringkali menempati posisi atas.

Sehingga ketika suara dukungan untuk Prabowo-Gibran jauh di atas suara Ganjar-Mahfud bahkan hingga di kandang -kandang banteng, sementara suara partainya masih berada di puncak, berdengunglah narasi yang mengatakan anomali atas raihan hasil suara Ganjar-Mahfud yang terendah jika dibandingkan dengan suara partai banteng yang berada di puncak perolehan suara.

Tetapi yang dilupakan oleh pendengung narasi suara anomali adalah bahwa suara banteng  hasil real count sementara sampai 20 Februari 2024 meskipun berada di puncak, hanya ada dikisaran 16-17 persen dan cuma terpaut 2-3 persen dengan partai Gerindra sebagai lawannya yang berada di posisi ketiga dengan raihan 13-14 persen.

Selain selisih suara yang tipis dari lawannya, hal krusial yang juga dilupakan adalah bahwa suara partai tidak selalu mewakili suara pilihan presiden dan wakil presiden bila mengingat ada koalisi partai yang menyertainya.

Sedangkan tentang suara internal banteng, salah satu poin yang dilupakan dan tanpa disadari adalah bahwa ada sosok matador sejati di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mampu mengambil alih banyak suara partisan dan simpatisan dari luar kandang.

Sosok matador yang bahkan saat dianggap sebagai penghianat sekalipun telah memiliki seni atau keterampilan faena dan muleta yang tetap masih ampuh dalam membuat  banteng-banteng mengembik dan manut kepadanya bahkan dibanding matador legendanya. 

Maka sejalan dengan apa yang ditulis Ernest Hemingway "Jokowi akan melilitkan banteng di sekelilingnya seperti ikat pinggang walaupun dari luar kandang".

Referensi

https://m.kaskus.co.id/show_post/56ba9f7cd675d4bb778b4571/85/-

https://www.britannica.com/biography/Juan-Belmonte

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun