Maka dalam konteks ketidakkuasaan mengingat keluarga, tak peduli tentang harga diri, tawaran vote buying berupa apa pun yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sebuah keluarga menjadi lebih utama. Begitulah kekejaman cara politik dalam mengintervensi hak suara, mengambil alih peran kepala keluarga yang belum memiliki kekuatan (kuasa) ekonomi atau ketahanan (kuasa) sebagai penyintas demokrasi.
Seperti lewat artikel "1 Liter Minyak dari Sosialaba untuk Menginkubasi Suara" (https://www.kompasiana.com/sunanamiruddin5274/64e49f5308a8b56513310be2/1-liter-minyak-dari-sosialaba-untuk-menginkubasi-suara) yang tayang pada 22 Agustus 2023, bahwa intervensi atas hak suara pemilih menggunakan cara sosialaba (vote buying) adalah cara menginkubasi suara untuk konstituen yang memiliki sifat stereotipe balas budi, gak enakan (people pleaser), dan gampangan.Â
Melalui 1 liter minyak, strategi atau cara vote buying (sosialaba) berupaya masuk ke dalam konteks "ketidakkuasaan mengingat keluarga", sehingga seorang kepala keluarga yang mempunyai sifat stereotipe balas budi, gak enakan  (people pleaser) atau gampangan juga merasakan intervensi atas kapasitas kemampuan ekonomi keluarganya.
Dari sanalah pertahanan idealismenya sebagai penyintas demokrasi mulai ternodai. Dari sana pula satu-persatu vote buying lainnya menyusul dan dijanjikan. Mulai dari mendapat souvenir, 1 liter minyak goreng lagi, uang kontan dan dijanjikan beras, sembako, uang kontan atau lainnya nanti saat mendekati hari pemungatan suara.
Menariknya, atau lebih tepatnya mengejutkan sekaligus mengherankan adalah ketika di suatu pagi saya sebagai kepala keluarga didatangi oleh salah seorang tengkulak suara atau manusia pengepul suara untuk menerima vote buying yang sudah dijanjikan setelah 1 liter minyak goreng. Saya kemudian diberikan selembar amplop putih tertutup, dan tak lupa lagi-lagi difoto dengan memegang amplop tersebut untuk bukti kebutuhan laporan.
Setidaknya dalam bayangan saya, di dalam amplop putih yang saya terima akan berisi uang kontan sebesar Rp. 100.000 atau minimal Rp 50.000. Walaupun begitu, dalam hati, uang itu tidak akan saya gunakan kecuali untuk keperluan membayar jasa atau untuk disedekahkan bagi yang membutuhkan. Sebab saya menerima vote buying atas pengaruh people pleaser.Â
Tetapi yang mengejutkan dan mengherankan adalah ketika amplop putih dibuka, uang yang ada di dalamnya hanya sebesar Rp. 10.000. Untuk memperjelasnya saya benar-benar memandangi dan menimang-nimang uang yang terdapat dalam amplop putih. "Ini serius hanya ceban." Batin saya berucap.
Coba bayangkan! Uang sebesar Rp 10.000 di zaman kuda makan roti, keju hingga cromboloni cukup untuk apa. Harga 1 liter beras di tingkat pengecer saja, terendah sudah ada di harga Rp 11.000 sampai Rp 12.000. Harga sepiring nasi di warung tegal (warteg) dengan lauk telur dan sayur sudah mencapai di harga terendah Rp 12.000. Sudahlah mengintervensi, vote buying ternyata mengandung unsur merendahkan pula.
Memang orang-orang yang di vote buying belum sepenuhnya menentukan pilihan kepada pemberi vote buying langsung di muka, tapi untuk para swing voter yang mempunyai salah satu sifat dari tiga sifat mudah dipengaruhi tentu sudah bisa dibaca arah suaranya akan ditentukan kemana.
Boleh jadi vote buying yang hanya sebesar Rp 10.000 sebenarnya telah mengalami sunat berkali-kali secara estafet. Tetapi karena itulah, alih-alih mengalahkan idealisme politik dan bertahan sebagai penyintas demokrasi karena "ketidakuasaan mengingat keluarga", nyatanya untuk mengganti kebutuhan makan satu hari untuk satu keluarga saja tak bisa dipenuhi.Â
Kejadian vote buying yang demikian, selain bentuk aktivitasnya sudah dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu, aktivitas tersebut terbukti memberikan efek negatif lain dan menunjukkan bahwa kandidat demokrasi yang melakukannya lebih mementingkan kemenangan tanpa mau bersusah payah melakukan pendekatan persuasif dengan cara-cara positif atau preventif agar tak terjadi pelanggaran maupun kecurangan.