Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Hijab Kensel dalam Sebuah Analogi

3 Agustus 2023   11:23 Diperbarui: 31 Mei 2024   11:31 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari twitter.com Kemenhub RI dan rumahshintazahaf.wordpress.com Kewajiban Berjilbab (Shinta Rini Priyadi-Rohmat S. Labib, M.E.I)

Berkali-kali menyaksikan berita tentang hijab kensel yang dilakukan oleh selebriti tanah air membuat pikiran saya serasa digelitik untuk ikut memberikan perspektif akan fenomena tersebut melalui analogi helm kensel.   

Helm atau topi pengaman adalah bentuk perlindungan tubuh yang dikenakan di kepala sekaligus sebagai perangkat keselamatan yang wajib digunakan oleh pengendara sepeda motor. Kewajiban itu bahkan diatur oleh UU No. 22 tahun 2009  tentang lalu lintas dan angkutan jalan Pasal 291 ayat (1) dan (2).

Pasal (1) UU tersebut menjelaskan, "Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak menggunakan helm Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)."

Selain sebagai pelindung kepala dari benturan untuk menghindari kematian atau meminimalisir kerugian dari kecelakaan, helm juga menjadi bagian dari gaya hidup penggunanya atau pengemudi motor.

Berdasarkan informasi tersebut, penggunaan helm yang telah diatur oleh Undang-Undang bertujuan untuk keamanan dan keselamatan dalam mengendarai sepeda motor. Bila demikian, apakah suatu aturan yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang bisa dibatalkan oleh penggunanya?  

Tetapi pembatalan yang dimaksud di sini bukan untuk melakukan langkah hukum dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Undang-Undang tentang kewajiban penggunaan helm. Jika pun itu terjadi, muncul pertanyaan, siapa orang atau sekelompok orang yang senaif itu, mengajukan uji materi demi membatalkan penggunaan helm?

Saya tidak dapat membayangkan akibatnya bila pengajuan uji materi terhadap Undang-undang tersebut dilakukan lalu dikabulkan oleh MKRI dengan putusan pembatalan penggunaan atas Undang-Undang tersebut. 

Berapa banyak korban luka dan korban jiwa akan mengalami peningkatan hingga membuat statistik kecelakaan lalu lintas kendaraan bermotor atas dua variabel korban luka dan jiwa akibat kecelakaan yang dialami pengendara motor berada diurutan puncak diagram?

Helm kensel yang dimaksud di sini adalah membatalkan penggunaan helm ketika hendak berkendara untuk melakukan sebuah perjalanan dengan berbagai alasan. Misalnya karena perjalanan jarak dekat, helm terlalu berat membuat pusing kepala, pengap dan kesulitan bernapas, tidak mau rambut menjadi bau dan acak-acakan, tampilan helm yang tidak keren atau alasan lainnya bagi yang tidak nyaman dan/tidak suka menggunakan helm.

Bersepeda motor di jalur lalu lintas tanpa helm adalah suatu jenis pelanggaran yang apabila terkena tilang maka pengendara motor yang melakukan helm kensel harus siap menerima konsekuensinya, yaitu mendapat sangsi pidana atau denda, atau mendapatkan luka ringan, berat, fatal dan/atau kematian akibat kecelakaan yang bisa saja terjadi. Lalu apa hubungan helm kensel dengan hijab kensel?

Pakaian bukan ukuran ketaatan. Saya sepakat. Keimanan seseorang tidak dinilai dari caranya berpakaian. Saya setuju. Pakaian tertutup juga tidak mutlak membuat perempuan aman dari tindak kejahatan. Saya sependapat. 

Begitu pula penggunaan helm, bukan ukuran kepatuhan pengendara motor. Keselamatan pengendara motor juga tidak bisa seutuhnya ditentukan oleh pemakaian helm. Tetapi mengapa seorang perempuan muslim yang memutuskan melepas hijabnya setelah sekian lama atau baru beberapa waktu, menjadi isu sensitif ketimbang pengendara motor yang tidak memakai helm?  

Ada dua kesamaan prinsip antara helm kensel dan hijab kensel; Pertama, keduanya akan bersinggungan dengan konsekuensi atas pelanggaran aturan. Kedua, keduanya berpotensi menggugurkan unsur keamanan atau keselamatan. Catatan pentingnya, penggunaan helm diatur oleh negara dalam Undang-Undang tentang lalu lintas. Hijab diarahkan oleh kitab suci agama Islam yang didukung oleh sunah nabi dalam aturan pengunaannya.     

Seperti diketahui, pengunaan helm yang telah diatur oleh Undang-Undang salah satu tujuannya adalah untuk melindungi (keamanan) bagian kepala. Begitu pun hijab yang terdapat dalam kitab suci, dengan penafsiran yang diarahkan kepada cara berpakaian bagi perempuan muslim dalam menutupi tubuhnya, bertujuan untuk melindungi dan menjaga kehormatan.   

Namun ada perbedaan respon masyarakat terhadap helm kensel dan hijab kensel. Perbedaan tersebut terjadi akibat adanya kecenderungan keterlibatan emosional yang jauh lebih mendalam pada fenomena hijab kensel, yang timbul dari rasa peduli, cinta kasih, kepo, iri hati atau benci. 

Oleh karena itulah hijab kensel lebih banyak mendapat atensi publik. Terlebih ketika hijab kensel dilakukan oleh figur publik.  Apakah analogi helm kensel dan hijab kensel sebanding, atau bahasa intelektualnya apple to apple? Bukankah helm diwajibkan oleh aturan kepada perempuan dan laki-laki tapi hijab diwajibkan oleh aturan untuk perempuan saja? 

Kita langsung saja melihat fakta perkara untuk membandingkan bahwa hijab dan helm bukan analogi jeruk dan rempeyek. Sebab motor berbeda dengan mobil yang tidak mewajibkan pengemudinya memakai helm, melainkan mewajibkan penggunan seat belt. 

Fakta perkaranya, ngapain pakai hijab, bila terbukti tidak sedikit perempuan berhijab jadi korban pelecehan dan/atau perkosaan. Ngapain pakai helm, kalau terbukti banyak pengguna helm terluka atau meninggal saat kecelakaan dan/atau jadi korban begal.

Sekarang ini tidak sedikit loh perempuan berhijab yang suka selingkuh, pamer aurat, ikut pesta miras malah ada yang nyambi jadi wanita penghibur. Iya yang pakai helm juga banyak yang terabas lampu merah di perempatan, lawan arah, lewat jalur transjakarta atau melintas di jalur pejalan kaki.     

Berhijab tidak menjamin perilaku atau ahlak seorang perempuan itu pasti baik. Berhelm juga tidak menjamin seorang pengemudi sepeda motor pasti patuh lalu lintas. 

Banyak loh perempuan tidak berhijab rajin ibadah, suka sedekah, peduli sesama dan tidak neko-neko. Tidak sedikit juga loh pesepeda motor yang tidak pakai helm tapi tetap berhenti di perempatan ketika lampu menyala merah, tidak lawan arah, tidak lewat jalur transjakarta atau tidak melintas di jalur pejalan kaki.

Berhijab atau tidak berhijab, seperti juga berhelm atau tidak berhelm, bukan ukuran kebaikan atau kepatuhan seseorang.  Tapi sampai di sini mestinya paham dong penggunaan helm di sepeda motor atau penggunaan hijab bagi perempuan muslim dalam aktivitas kehidupannya adalah arahan kewajiban yang sudah diatur untuk suatu maksud dan tujuan. Terlepas ditaati atau tidak, dipatuhi atau tidak, berdampak positif atau tidak, itu adalah hal lain.

Masalahnya, fenomena hijab kensel seringkali memunculkan kegaduhan pro dan kontra serta lebih memiliki keterlibatan dan keintiman emosional di masyarakat. Terlebih fenomena tersebut terhubung dengan kesamaan rasa spiritual dan keyakinan juga perbedaan. Sehingga hijab kensel lebih menciptakan sensitivitas dan agresivitas tersendiri saat masuk ke ranah sosial.

Tapi ibarat orang tua, kerabat, teman, sahabat atau petugas berwenang yang mengingatkan seorang pengendara motor agar jangan sampai tidak memakai helm ketika mengendarai sepeda motor adalah atas dasar rasa sayang, peduli atau demi keamanan, maka mengingatkan atau bahkan meminta seorang perempuan muslim untuk memakai hijab atau tetap memakai hijab, keterikatan rasanya, keterlibatan dan keintiman emosionalnya menjadi jauh lebih kompleks.

Kekompleksitasan rasa itu datang dari keterlibatan dan keintiman emosional atas kesamaan spiritual dan keyakinan termasuk perbedaan, yang kemudian memanifestasikan rasa peduli, cinta kasih, kepo, iri hati atau benci yang seharusnya menjadi suatu kewajaran ketika hijab kensel yang dilakukan oleh seorang figur publik menimbulkan kegaduhan. Toh, seiring waktu berjalan semua itu akan berlalu dengan sendirinya sebab kegaduhan yang ditimbulkan sebenarnya masih bagian dari realitas kehidupan.

Bahayanya adalah ketika berita hijab kensel digoreng oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan menambahkan lebih banyak bubuk cabe ke dalamnya sehingga pedasnya menyebar kemana-mana.Terlebih netralitas untuk memudarkan pedasnya sulit ditemukan. 

Pada akhirnya, saya sepakat tidak ada pemaksaan kecuali peringatan untuk pengemudi motor yang tidak nyaman atau tidak berkenan memakai helm. Seperti saya juga sangat sepakat tidak boleh ada pemaksaan untuk mengatur cara perempuan berpakaian dan memakai hijab. 

Tetapi yang harus dipahami adalah bahwa aturan tetaplah aturan, eksistensinya tidak bisa dibantah oleh orang-orang yang bertentangan dengan aturan itu. Perkara mau dipatuhi atau dilanggar akan kembali pada dan jadi tanggung jawab masing-masing orang.  

Aksi hijab kensel adalah hak azasi setiap perempuan sebagai warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang, maka ketika seorang perempuan memutuskan untuk melepas kembali hijab yang sudah digunakan dalam aktivitas kehidupannya, tidak seorangpun berhak melarangnya. Begitupun sebaliknya.

Orang boleh merespon apapun terkait keputusan seorang perempuan yang melakukan hijab kensel sepanjang tidak ada paksaan baginya untuk  membatalkan hijab kenselnya. 

Orang boleh saja berkomentar apapun, selama komentarnya tidak mengandung unsur adu domba, ujaran kebencian, penghinaan terhadap pengambil keputusan, penggiringan opini yang bisa menimbulkan perpecahan atau apapun itu yang memunculkan sentimen negatif terhadap pengunaan hijab yang bagi sebagian besar umat Islam adalah suatu kewajiban yang harus ditaati. Terlepas soal kewajiban masih multi tafsir dan bisa diperdebatkan. 

Ujungnya, di hari persahabatan dengan segala bentuk solidaritas, empati, toleransi dan apapun yang menyatukan, mendamaikan dan menentramkan, saya setuju bahwa hanya bila kita menggunakan akal sehat dalam perspektif yang benar dengan logika yang tidak mendiskreditkan satu pihak maka negara akan selamat. 

Referensi

Nugrahadi, Arif. 2021. "Tidak Pakai Helm SNI, Pengendara Motor Bisa Didenda Rp 250.000", https://otomotif.kompas.com/read/2021/11/29/111200315/tidak-pakai-helm-sni-pengendara-motor-bisa-didenda-rp-250.000, diakses pada tanggal 03 Agustus 2023.    

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun