Berhijab atau tidak berhijab, seperti juga berhelm atau tidak berhelm, bukan ukuran kebaikan atau kepatuhan seseorang. Â Tapi sampai di sini mestinya paham dong penggunaan helm di sepeda motor atau penggunaan hijab bagi perempuan muslim dalam aktivitas kehidupannya adalah arahan kewajiban yang sudah diatur untuk suatu maksud dan tujuan. Terlepas ditaati atau tidak, dipatuhi atau tidak, berdampak positif atau tidak, itu adalah hal lain.
Masalahnya, fenomena hijab kensel seringkali memunculkan kegaduhan pro dan kontra serta lebih memiliki keterlibatan dan keintiman emosional di masyarakat. Terlebih fenomena tersebut terhubung dengan kesamaan rasa spiritual dan keyakinan juga perbedaan. Sehingga hijab kensel lebih menciptakan sensitivitas dan agresivitas tersendiri saat masuk ke ranah sosial.
Tapi ibarat orang tua, kerabat, teman, sahabat atau petugas berwenang yang mengingatkan seorang pengendara motor agar jangan sampai tidak memakai helm ketika mengendarai sepeda motor adalah atas dasar rasa sayang, peduli atau demi keamanan, maka mengingatkan atau bahkan meminta seorang perempuan muslim untuk memakai hijab atau tetap memakai hijab, keterikatan rasanya, keterlibatan dan keintiman emosionalnya menjadi jauh lebih kompleks.
Kekompleksitasan rasa itu datang dari keterlibatan dan keintiman emosional atas kesamaan spiritual dan keyakinan termasuk perbedaan, yang kemudian memanifestasikan rasa peduli, cinta kasih, kepo, iri hati atau benci yang seharusnya menjadi suatu kewajaran ketika hijab kensel yang dilakukan oleh seorang figur publik menimbulkan kegaduhan. Toh, seiring waktu berjalan semua itu akan berlalu dengan sendirinya sebab kegaduhan yang ditimbulkan sebenarnya masih bagian dari realitas kehidupan.
Bahayanya adalah ketika berita hijab kensel digoreng oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan menambahkan lebih banyak bubuk cabe ke dalamnya sehingga pedasnya menyebar kemana-mana.Terlebih netralitas untuk memudarkan pedasnya sulit ditemukan.Â
Pada akhirnya, saya sepakat tidak ada pemaksaan kecuali peringatan untuk pengemudi motor yang tidak nyaman atau tidak berkenan memakai helm. Seperti saya juga sangat sepakat tidak boleh ada pemaksaan untuk mengatur cara perempuan berpakaian dan memakai hijab.Â
Tetapi yang harus dipahami adalah bahwa aturan tetaplah aturan, eksistensinya tidak bisa dibantah oleh orang-orang yang bertentangan dengan aturan itu. Perkara mau dipatuhi atau dilanggar akan kembali pada dan jadi tanggung jawab masing-masing orang. Â
Aksi hijab kensel adalah hak azasi setiap perempuan sebagai warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang, maka ketika seorang perempuan memutuskan untuk melepas kembali hijab yang sudah digunakan dalam aktivitas kehidupannya, tidak seorangpun berhak melarangnya. Begitupun sebaliknya.
Orang boleh merespon apapun terkait keputusan seorang perempuan yang melakukan hijab kensel sepanjang tidak ada paksaan baginya untuk  membatalkan hijab kenselnya.Â
Orang boleh saja berkomentar apapun, selama komentarnya tidak mengandung unsur adu domba, ujaran kebencian, penghinaan terhadap pengambil keputusan, penggiringan opini yang bisa menimbulkan perpecahan atau apapun itu yang memunculkan sentimen negatif terhadap pengunaan hijab yang bagi sebagian besar umat Islam adalah suatu kewajiban yang harus ditaati. Terlepas soal kewajiban masih multi tafsir dan bisa diperdebatkan.Â
Ujungnya, di hari persahabatan dengan segala bentuk solidaritas, empati, toleransi dan apapun yang menyatukan, mendamaikan dan menentramkan, saya setuju bahwa hanya bila kita menggunakan akal sehat dalam perspektif yang benar dengan logika yang tidak mendiskreditkan satu pihak maka negara akan selamat.Â