Ibu. Â Tetaplah sehat. Berjanjilah, dipernikahan putramu nanti, engkau ada. Â Â
Jakarta, 2014
Yang mencintaimu,
Putramu terkasih   Â
Â
Pagi. 27 April 2019. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Saya dekati tubuh ke cermin, mematut-matut lagi penampilan, barangkali masih ada yang kurang. Tetapi namanya juga pakaian sewaan; baju kebesaran, celana kepanjangan, kain jarik kendor dan peci sedikit longgar. Tak mengapa, sebab pakaian bukan yang terpenting di hari yang penting ini.
Semua sudah siaga. Iring-iringan akan segera berangkat. Kakak, adik dan saudara-saudara saya meminta untuk bergegas. Namun keramaian di hari yang paling dinanti-nanti itu rasanya sunyi. Saya tengok lagi dipan tempat ibu biasa terlelap. Ibu di mana?
Kami berangkat jam tujuh tepat. Iring-iringan akhirnya tiba di tempat. Disambut hangat dan saling berjabat erat. Lalu kami digiring masuk ke satu ruang yang di dalamnya telah menunggu sanak saudara dan para kerabat. Di tengah ruang itu sebuah meja persegi dengan kaki-kaki pendek diletakkan. Tangan saya tiba-tiba dituntun mendekati meja, diminta duduk dan bersiap.
Beberapa orang di dalam ruang tampak mulai tegang dan kegerahan. Saya masih dalam rasa tak percaya dan terus bertanya, benarkah ini hari pernikahan? Di mana ibu? Saya mengedar pandang perlahan, berharap ibu ada di sana. Duduk, berdiri, terselinap atau menyelipkan wajahnya dengan seuntai senyum bahagia di antara sanak saudara atau kerabat. Setidaknya hadir dalam isyarat.
Tapi itu tak mungkin terjadi. Beliau telah pergi. Sepekan sebelum ulang tahun saya yang ke 40. Andai surat itu pernah sampai ke tangannya. Tapi saya percaya beliau ada di tempat paling bahagia. Ada di hari pernikahan itu. Terima kasih ibu. Â Â
Â