Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Kontemplasi Akhir Tahun: Surat untuk Ibu yang Tak Tersampaikan

23 Desember 2022   16:01 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:06 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Untuk Ibu Tercinta, 

Ibu. Putramu tahu, kecemasan yang selama tiga tahun belakangan ini menyelimut di hatimu. Rasa cemas yang tak lepas dari berpikir akan dua anak laki-lakimu yang belum juga mendapat jodoh di usia yang tak lagi muda. Barangkali karena pikiran itu juga kesehatanmu menurun tajam.  

Putramu tahu ibu. Kau lebih tegar menerima ujian berat yang lain ketimbang  pertanyaan, "Kapan anak laki-lakimu nikah?". Pertanyaan sesederhana itu bagimu selaksa ratusan ujian berat yang dihantamkan kepadamu secara bersamaan.

Begitu juga putramu ini. Pertanyaan, "Kapan nikah?" terdengar enteng di telinga, tetapi serasa dipukul palu godam di kepala dan diinjak kaki gajah di bagian dada.

Putramu juga tahu ibu. Bukan pertanyaan sederhana itu yang membuat dirimu dilanda cemas, melainkan bagaimana nasib kedua anak laki-lakimu kelak sepeninggalmu nanti bila tetap masih sendiri. Siapa yang menyiapkan pakaian kami, makan kami dan kebutuhan-kebutuhan yang menurutmu tidak bisa kami penuhi sendiri. Putramu mengerti kecemasanmu tapi kami sudah dewasa ibu. Kami bisa. Seperti yang seiring ibu bilang, "Serahkan semua pada Allah, begitu juga jodoh".   

Ibu. Tahun 2014 ini, putramu berlebaran di kampung orang. Seumur hidup, baru kali ini takbir yang bergema di telinga putramu didengar nun jauh di sana. Di sebuah desa yang belum pernah sekalipun tanahnya putramu jejak. Dataran tinggi yang berada di kaki gunung sebuah wilayah di Kabupaten Majalengka.

Meski dingin air, sejuk udara, semilir angin, segar embun, bau dedaunan, harum aroma bunga, hamparan padi, kubangan kerbau dan sapi serta wajah-wajah sumringah penduduk desa sungguh menawarkan pagi yang jauh berbeda, tapi jantung dan hati putramu penuh sesak dengan isak. Tubuh putramu di sana. Tapi jiwanya mengembara, meraba lagi tahun-tahun yang pernah dilalui di hari Fitri.

Selepas shalat Ied, putramu salami tangan-tangan dari wajah-wajah yang sama sekali tak dikenali. Kecuali sebuah keluarga tempat putramu menginapkan jasad. Keluarga yang tentu saja ibu tahu. Keluarga yang selalu ibu bantu dan sikapi baik walau mereka kadang berbuat sebaliknya.  Tapi karena itulah putramu belajar tentang kesabaran, ketulusan, cinta kasih dan cara melepaskan dendam.

Ketika itu untuk kali pertama di hari Raya, putramu tak bersimpuh, tak menyalami dan tak mendekap tubuh hangatmu. Hanya hadirkan suara lewat telepon genggam dengan nada tertahan. Putramu tahu bahwa ibu tahu putramu sedang apa dalam suara yang meluncur tak sempurna, terpatah-patah kadang terhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun