Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Kontemplasi Akhir Tahun: Surat untuk Ibu yang Tak Tersampaikan

23 Desember 2022   16:01 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:06 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf ibu! Bukan aku tak laki-laki. Tapi entah mengapa Allah memberiku segumpal daging yang identik denganmu. Mudah leleh.   

Ibu. Tadinya kepergian putramu ke kampung orang ingin mempersembahkan sebuah kejutan. Suatu kejutan yang engkau nanti-nantikan dari doa dan harapan yang hampir setiap detik engkau pintakan padaNya.  

Tetapi Ibu, sepulang dari kampung kemarin, putramu tak sanggup berkata-kata. Kau tentu ingat sepulang dari berlebaran di kampung orang kala itu, hanya satu yang putramu lakukan, mencarimu ke sudut-sudut ruang, mendekap tubuhmu erat serta memohon maaf atas semua salah, khilaf dan dosa. Ketika itu lagi-lagi tangis putramu pecah dipelukmu sambil terbata mengucap, "Ibu, jangan tanyakan apa-apa lagi tentang siapa calon putramu! Putramu lelah ibu"

Hari-hari berlalu. Pada suatu malam, putramu melihat engkau terbaring di atas kasur dengan tubuh ringkih dan kulit yang mulai mengendur. Putramu mendekat, terdengar detak jantungmu yang melemah, napasmu yang tersengal-sengal dan kakimu yang kerap membengkak. Ibu, putramu tahu usia milik Allah. Kita tidak pernah tahu kapan kita dipanggil olehNya. Namun putramu tahu engkau sangat berharap bisa menyaksikan kami menikah sebelum engkau menutup mata.

Ibu. Suatu malam dalam tidurmu. Putramu ini berbisik, bercerita untuk melegakan hati karena putramu tahu engkau tak akan sanggup mendengarnya. Tahukah engkau ibu? Putramu tak berhenti mencari untuk menemukan sekalipun seribu pedang telah menghujam ke sanubari.

Tapi kemarin, penolakkan lagi-lagi putramu terima. Perempuan yang putramu kejar ke pelosok desa ternyata seorang anggota dewan. Tidak tahu apa alasannya, semua percakapan yang kita bangun tentang segala komitmen lenyap begitu saja. Perempuan itu menolak mentah-mentah. Entah penolakkan yang keberapa kali sudah.

Ibu. Putramu berutur ini ketika engkau terlelap. Hampir setiap tahun putramu berkisah tentang pahitnya penolakan. Getirnya penghinaan. Sakitnya perasaan yang terbuang. Perihnya penantian yang dihempaskan.

Ibu tentu masih ingat saat perempuan pertama yang putramu bawa ke rumah. Dia tak lebih hanya meminta pertolongan pada putramu untuk mengantarnya ke berbagai agensi demi meraih impiannya menjadi model atau artis. Perempuan kedua berambut pirang yang putramu bawa ke rumah tak pernah lagi mau merespon begitu melihat kondisi keluarga kita. Perempuan ketiga yang bahkan pernah gagal menikah juga pergi dengan meninggalkan segenap harapan yang nyatanya palsu. Perempuan keempat, kelima... ah akan sampai hitungan ke berapa. Putramu lelah ibu.

Apa ibu juga masih ingat? Ada perempuan yang putramu perkenalkan lewat sambungan telpon hingga ibu dan perempuan itu melakukan komunikasi lanjut, namun setelah beberapa waktu kemudian berakhir senyap. Putramu belum sempat bilang bahwa wanita itu ternyata sudah punya pasangan sah dan anak. Ibu tahu, betapa langit rasanya menimpa tubuh ketika itu. Arghhh!.. kesal, sedih, kecewa, lagi-lagi putramu lelah ibu.

Ibu. Putramu ingin stop. Tak perlu lagi berpayah-payah menemukan. Bolehkah putramu tidak men, men... mencari lagi sementara waktu. Setidaknya biarkan saja putramu menunggu jodoh itu datang. Bukankah pencarian yang telah putramu lakukan adalah menabur atau menanam yang seharusnya tinggal menuai atau memanen.   

Ibu. Saat engkau terjaga, putramu tak mampu berkata-kata. Lembar surat ini sebagai gantinya. Lagi, maaf, di usia jelang 40 tahun putramu belum juga bisa mewujudkan keinginanmu untuk bisa menyaksikan putramu menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun