Beberapa Orang tua menumpukan harapan masa depan yang baik menurut mereka kepada anaknya. Seakan ingin menuntaskan keinginannya yang belum terwujud kepadanya. Untuk mewujudkannya, orang tua menerapkan cara-cara mendidik yang cukup ketat. Ketat dalam arti melibatkan beberapa aturan dengan berbagai batasan yang kaku.
Orang tua menerapkan pola pengasuhan dengan peraturan ketat, yang mana bisa disebut dengan istilah strict parents.Â
Merupakan pola asuh otoriter dari orang tua ke anak dengan serba melakukan pembatasan dan pengekangan. Pembatasan yang kaku terhadap anak.Â
Berupa perilaku, pilihan, aktivigtas, ideologi, rutinitas, dan masih banyak hal lainnya. Meskipun pengertian ini tidak memiliki ukuran pasti.
Pada kenyataannya, hal tersebut jamak terjadi. Alasannya guna masa depan anak agar lebih baik. Menurut orang tua. Namun belum tentu lebih baik dilihat dari sudut pandang anak itu sendiri. Banyak kasus, anak akan beralih jalur setelah memenuhi keinginan dan harapan orang tua. Sebagai contoh, anak kuliah sesuai jurusan yang dipilihkan oleh orang tua. Akan beralih pada jenis pekerjaan yang tidak sesuai jurusan karena merasa bukan sebagai passionnya.
Aturan yang diterapkan oleh orang tua sebenarnya wajar. Namun akan terlalu strict saat aturan yang diberlakukan berlebihan. Biasanya, pemberlakukan aturan tersebut memuat hukuman yang harus diterima anak saat tidak mengindahkan.
Pola Asuh Strict Parents
Beberapa hal yang bisa disebut sebagai pola asuh strict parents yang disarikan dari berbagai sumber sebagai berikut.
1. Kontrol Tinggi
Orang tua melakukan kontrol yang sangat tinggi terhadap anaknya. Baik itu aktivitas maupun teman-teman mereka. Biasanya hal tersebut menyebabkan anak merasa terkekang, tidak bebas. Menyebabkan teman anak menjadi terbatas karena teman-temannya kurang sreg dengan orang tua anak tersebut.
2. Harapan Tinggi
Pada saat orang tua menerapkan aturan yang ketat, seringkali memiliki harapan tinggi terhadap anak. Utamanya dalam bersikap dan bidang akademiknya. Beralasan untuk pembentukan mental yang kuat dan masa depan yang jelas.
3. Tidak fleksibel
Ketatnya peraturan yang diterapkan oleh orang tua menyebabkan kurangnya fleksibilitas. Memegang teguh aturan yang sudah diterapkan. Tidak ada tawar menawar. Tidak ada ruang berdialog dan mendiskusikannya.
4. Tidak ada Tolerir
Kesalahan yang diperbuat anak sering tidak mendapat toleransi. Setiap kesalahan diganjar dengan hukuman. Sebagai konsekuensi atas kesalahan yang diperbuat atau pelanggaran atas aturan yan sudah diberlakukan.
5. Tidak responsif
Strict parents identik dengan sikap yang dingin. Jarang merespon dengan apapun yang dilakukan oleh anak. Empati jarang ditunjukkan. Sehingga orang tua kurang memahami suasana hati anak. Apakah sedang bahagia, sedih, atau bingung.
6. Menggunakan Kata-kata Kasar
Empati yang tidak ada menyebabkan orang tua mudah berkata kasar. Memermalukan anak di depan umum. Mereka berharap dengan memermalukan di depan umum, anak akan jera atau memerbaiki diri. Namun justru anak akan minder di depan orang lain.
7. Minus dialog
Hubungan antara anak dan orang tua dengan pola asuh strict sangat jarang berdiskusi. Dialog juga jarang terjadi. Ditiadakannya diskusi dan dialog dimaksudkan agar anak tidak memberikan pendapat yang dapat menolerir aturan yang telah dibuat.
Dampak Strict Parents
Seluruh perilaku strict parents yang diharapkan mampu membentuk mental anak, nyatanya justru berdampak pada kehidupan anak.
1. Tidak Pernah Merasa Puas
Dalam satu jurnal yang diterbitkan Children and Youth Services Review menyebutkan, bahwa kehidupan anak dengan pola asuh Strict parent berdampak kurang bahagia. Hidup dalam tekanan yang memengaruhi kehidupan remaja di masa depan.
Hal tersebut menyebabkan anak tidak pernah merasa puas karena terbiasa dengan tuntutan yang diberikan oleh orang tua. Sehingga memunculkan ambisius yang tinggi. Kurang menghargai orang-orang di sekelilingnya.
2. Tingkat kecemasan tinggi
Tingkat kecemasan yang dimiliki oleh anak tinggi. Mengakibatkan depresi. Setiap apa yang dia lakukan selalu dihantui hukuman dan kritik dari orang tuanya. Dengan demikian, dia tidak dapat mengekspresikan apa yang sedang ia alami. Tidak bisa mengungkapkan pendaptnya. Merasa terkekang hingga tidak merasa dihargai.
3. Sulit Mengambil Keputusan
Pola asuh dengan memberikan kontrol yang kuat. Mengatur kehidupan dengan ketat. Menyebabkan anak sulit untuk menentukan keputusan yang diambil. Mereka terbiasa segala sesuatu diatur oleh orang tua. Disiapkan secara detail tanpa melibatkan anak dalam menentukannya. Hal tersebut menyebabkan masa depan anak yang mengkhawatirkan.
4. Mudah terjadi Konflik
Anak tidak dapat mengekspresikan diri dengan terbuka. Hal tersebut menyebabkan mudahnya terjadi konflik. Anak mudah memberontak. Anak merasa tidak mendapat keadilan dari perlakuan orang tua, sehingga mudah menyebabkan konflik dengan orang lain saat berada di luar pengawasan orang tua. Melampiaskannya terhadap orang lain, apalagi yang menurut dia kemampuannya berada di bawahnya.
5. Tidak Bisa Berekspresi
Jelas akan terlihat, anak tidak mudah mengekspresikan dirinya. Pada saat sedang merasakan hal yang seharusnya bisa diungkapkan dengan kata-kata, sikap, atau apapun itu. Tidak bisa diekspreksikan dengan baik. Dia akan cenderung menyimpannya sendiri. Hal inilah yang akan menyebabkan anak menjadi depresi karena beratnya tekanan batin.
Strict parents dengan menerapkan pola asuh yang ketat, nyatanya tak seperti yang ada dalam bayangan orang tua. Malah menyebabkan anak menjadi tertekan dan depresi. Tidak mampu mengekspresikan diri. Selain itu memudahkan terjadinya konflik. Anak-anak zaman sekarang sering menyebutnya sebagai orang tua yang menerapkan 'didikan VOC' karena saking kerasnya. Untuk itu pola asuh yang humanis yang perlu diterapkan.
Orang tua memang perlu memberikan batasan. Agar anak memahami arti pentingnya disiplin dan tanggung jawab. Namun batasan tersebut dilakukan dengan cara berdialog. Melibatkan anak dalam memulai dan melaksanakannya. Sehigga yang muncul adalah kesepatakan-kesepatakan. Jika ada konsekuensi dalam perjalannya, sudah dipahami Bersama.
Agar anak dapat mengekspresikan perasaan, orang tua perlu meluangkan waktu untuk anak. Mendengarkan setiap keluh kesah dan ceritanya. Memberikan simpati dan empatinya kepada mereka. Selain dapat mendekatkan orang tua dan anak, hal tersebut juga dapat memerkecil tingkat stress dan depresi anak.
Pastinya, orang tua harus memberikan contoh kepada anak. Sebab seribu nasihat tak akan berarti tanpa contoh yang pasti. Buah akan jatuh tak jauh dari pohonnya. Contoh yang baik dari orang tuanya akan menyebabkan buah jatuh sepohon-pohonnya, meminjam istilah Gen Z. Tentunya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang tanpa 'tapi'. [UAW]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H