“I...iya, ada apa?” Geragapan aku menjawab sapaannya. Vina tersenyum, meskipun bengal, anak ini perhatiannya luar biasa. Setiap kali bel istirahat berbunyi dia tidak pergi ke kantin seperti teman-temannya. Dia pasti akan lebih suka berbincang-bincang denganku. Bicara ini itu. Kadang-kadang kami tidak berjarak, layaknya sahabat saja. Tidak memandang aku sebagai apa dan dia sebagai apaku. Membagi bekalnya juga cerita-cerita gokilnya.
“Ibu itu kalau melamun tambah cantik!” godanya. Selama ini hanya dia yang bisa membuatku tersenyum. Sejak tragedi pertunanganku yang tragis. Ah... lelakiku.
“Aih..., bisa saja kamu, Vin.”
“Benar kok, Bu.” Desaknya.
***
Cuaca hari ini tidak terlalu cerah, namun sejuk. Membuat rasa kantuk nyaman sekali berumah di mataku. Walau di dalam kelas, aku bertahan dengan mata yang tinggal lima watt. Seperti biasa, pelajaran berjalan lancar. Pelajaran di ruang praktik seperti ini selalu kondusif. Anak-anak sudah terbiasa dengan aturan dan SOP. Aku tinggal mengarahkan sedikit saja.
Alat penyejuk juga kipas angin membuat ruang praktik semakin syahdu. Bulu lenganku merinding berkali-kali. Ah... dingin sekali. Ini pasti karena aku sedang masuk angin, gumamku.
“Ibu sakit, kan,” tiba-tiba Vina berdiri di sampingku.
“Kamu, itu, bikin kaget saja!” dadaku turun naik. Rasanya mau terbang sendiri jantung ini. Sorot mata Vina begitu lembut. Ada sorot yang tak asing di mataku. Tapi sorot mata siapa, di mana aku pernah menemukannya. Setiap kali kuingat, semakin menguat, tapi semakin aku tak mengerti. Semakin kutegaskan pandang matanya, semakin indah saja.
“Kamu! Jangan jahil!” Tiba-tiba seorang anak di ujung sebelah kanan ruangan, dekat kamar mandi, teriak-teriak.
“Ada apa?” bergegas aku menuju arah keributan itu.