Tuhan memang maha cinta. Memberi anugerah terindah yang tak terkira. Dari perkawinan kami lahirlah Pinggo putri kami yang teramat cantik. Kami beri nama dia Pinggo gabungan dari nama kami Pongo dan Pygmaeus. Kami berdua penuh kasih sayang merawatnya. Genap 3 tahun dia menyusu, dalam pelukanku, ibunya. Ayahnya yang sangat bersemangat mencarikan makanan untuk kami. Bermain-main dengan Pinggo, mengajarinya bagaimana mencari makan sendiri, daun-daun muda, buah, dan juga serangga kecil seperti rayap.
Hingga 7 tahun, kehidupan kami sangat bahagia. Namun Tuhan menakdirkan jalan hidup bagi Pinggo. Dia harus hidup terpisah dari kami. Menyusuri belantara Borneo sendirian. Melanjutkan jalan hidupnya. Mencari jodohnya sendiri.
Betapa sedihnya hati kami saat itu. Namun mungkin itu yang terbaik baginya. Lazuardi, sebuah permata biru menjadi cinderamata yang kami berikan untuknya. Sebagai penanda dialah putri kami.
“Tuhan lindungi dirinya” doa kami. Semoga dia mampu menjalani hidupnya sendiri. Menembus rimba raya seluas Borneo.
Tak terasa, pipi Pygi basah. Danau matanya yang dipenuhi butiran bening akhirnya tumpah juga.
“Sayang, kenapa kamu bersedih?, aku tidak apa-apa, aku tidak sakit”.
Menyadari istrinya menangis, tangan Pongo menarik kepala Pygi dalam pelukannya. Diciumi rambut istrinya. Dibelai-belai. Menenangkan tubuhnya yang bergoncang menahan emosinya.
Sejurus kemudian. Pygi menatap lekat mata Pongo.
“Sayang, aku teringat anak kita, Pinggo”
Pygi tak sanggup melanjutkan bicaranya, air matanya terus mengalir.
“Sudahlah sayang, kita ini primata yang memang harus hidup seperti ini” lembut Pongo berusaha menghibur istrinya.