Lelehan air mata keduanya menderas, dan akhirnya berhenti mengalir. Seiring kehidupannya yang tercerabut diminta kembali oleh Tuhannya.
***
“Grumpphhh” suara keras itu membangunkan Pinggo. Sontak ia berlari.
“Itu suara ibuku!” Ia terus berlari, mencari jejak suara itu. Ia sangat yakin, itu suara ibu yang mengandung dan menyusuinya. Yang ia rindukan berpuluh-puluh tahun.
Sambil terus berlari, ia dekap erat lazuardi yang menggantung di lehernya. Lazuardi itu akan mempertemukan dirinya dengan ayah dan ibunya. Sudah terbayang pelukan keduanya. Memperkenalkan cucu satu-satunya kepada mereka.
Pekat kabut asap ia terjang. Ia tak pedulu, ranting-ranting dan semak-semak melukai sebagian tubuhnya. Ia harus menemukan keduanya, tekadnya.
Pinggo tertegun. Dua orang utan, berpelukan di depannya. Masih terengah-engah, ia singkirkan dahan yang menutup tubuh mereka.
“Ayaaaahhhhh, Ibuuuuuu, Pinggo pulaannnnggg!” dia peluk kedua orang tuanya. Ia hapus air mata keduanya.
Mendung bergulung menangis, titi-titiknya mengiringi tangisan Pinggo. Menghapus asap yang menutup belantara Borneo. Mengaminkan doa Pinggo, mengangkat jiwa keduanya ke angkasa.
Burung-burung terdiam, dahan-dahan lesu. Singa dan kancil hanya mampu menunduk tak berdaya.