Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(FABEL) Lazuardi Pri(H)mata

8 November 2015   03:56 Diperbarui: 17 Desember 2015   16:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan memang maha cinta. Memberi anugerah terindah yang tak terkira. Dari perkawinan kami lahirlah Pinggo putri kami yang teramat cantik. Kami beri nama dia Pinggo gabungan dari nama kami Pongo dan Pygmaeus. Kami berdua penuh kasih sayang merawatnya. Genap 3 tahun dia menyusu, dalam pelukanku, ibunya. Ayahnya yang sangat bersemangat mencarikan makanan untuk kami. Bermain-main dengan Pinggo, mengajarinya bagaimana mencari makan sendiri, daun-daun muda, buah, dan juga serangga kecil seperti rayap.

Hingga 7 tahun, kehidupan kami sangat bahagia. Namun Tuhan menakdirkan jalan hidup bagi Pinggo. Dia harus hidup terpisah dari kami. Menyusuri belantara Borneo sendirian. Melanjutkan jalan hidupnya. Mencari jodohnya sendiri.

Betapa sedihnya hati kami saat itu. Namun mungkin itu yang terbaik baginya. Lazuardi, sebuah permata biru menjadi cinderamata yang kami berikan untuknya. Sebagai penanda dialah putri kami.

“Tuhan lindungi dirinya” doa kami. Semoga dia mampu menjalani hidupnya sendiri. Menembus rimba raya seluas Borneo.

Tak terasa, pipi Pygi basah. Danau matanya yang dipenuhi butiran bening akhirnya tumpah juga.

“Sayang, kenapa kamu bersedih?, aku tidak apa-apa, aku tidak sakit”.

Menyadari istrinya menangis, tangan Pongo menarik kepala Pygi dalam pelukannya. Diciumi rambut istrinya. Dibelai-belai. Menenangkan tubuhnya yang bergoncang menahan emosinya.

Sejurus kemudian. Pygi menatap lekat mata Pongo.

“Sayang, aku teringat anak kita, Pinggo”

Pygi tak sanggup melanjutkan bicaranya, air matanya terus mengalir.

“Sudahlah sayang, kita ini primata yang memang harus hidup seperti ini” lembut Pongo berusaha menghibur istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun