Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(FABEL) Lazuardi Pri(H)mata

8 November 2015   03:56 Diperbarui: 17 Desember 2015   16:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tapi...”

“Ssstt...!”

“Cukup” sergah Pongo.

“Kita harus terus bersyukur, Tuhan telah memberikan hidup, umur hingga kita 50 tahun”.

Pandangan Pongo lurus ke depan, dadanya naik turun. Dia menyadari, diapun sangat kangen dengan anaknya. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya pada Pygi istrinya. Tidak ingin membuat perempuan terkasihnya semakin terpukul.

“Turunlah sayang, ayo kita cari Pinggo!”

Rona bahagia tiba-tiba memenuhi wajah Pygi. Tanpa pikir panjang ia langsung meloncat. Tidak berpikir panjang lagi. Ia ingin segera bertemu putri tercintanya.

“Kraaakkkkk!”

“Bluuum...”

“Gruuuuummmpphhhh!” suara keduanya melengking bersamaan. Seolah dunia berhenti berputar. Seluruh isi belantara berpaling menatap keduanya yang saling berpelukan. Di bawah dahan seukuran manusia dewasa yang menimpa mereka. Mata mereka telah tertutup. Jiwa mereka berayun-ayun. Melayang ke petala langit pekat. Langit penuh asap. Asap yang mereka nikmati setiap tahun, sepanjang tahun, sepanjang mereka hidup di rumah mereka sendiri. Tinggal kenangan. Tinggal nama.

“Pinggo, ayah dan ibu pergi. Menantimu di pintu surga sayang”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun