Ruang ini bergetar. Keduanya melotot. Rahang mereka bergeletuk. Tangan sudah saling kepal.
“Sudah, sudah, yang sabar ya boss” tiba-tiba Jarwo muncul dengan suara beratnya di antara kedua wajah mereka. Melerai perdebatan mereka. Seperti pahlawan yang bangun kesiangan. Senyu-senyum. Sambil mengelus dada keduanya.
“Pencet nomor telepon rumah saya!” bentak Dayat.
“Apanya yang dipencet?” Jarwo bingung. Sopo sudah tidak memerdulikan.Bersungut-sungut dia duduk di pojok ruangan.
“Ini!” Dayat menyodorkan handy talky yang dipegangnya kepada Jarwo.
“O...” Jarwo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Caranya bagaimana mas Dayat?” Jarwo ikut bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sedang dayat semakin marah.
“Sudah, tidak jadi!, antarkan saya ke peristirahatan terakhir saya!”
“Looh” Jarwo semakin tidak paham dengan apa yang dikatakan Dayat. Namun dengan segera ia mempersilakan Dayat memasuk gerobak yang sudah disiapkan panitia menuju penginapan.
“Mari saya antar ke rumah nenek Rubiah” ajak Jarwo dengan sopan.
“Hah!, kamu bilang rugi ah!, saya sudah mahal membayar kalian, kalian bilang rugi!” Dayat terus saja nyerocos. Jarwo semakin tidak mengerti. Dia tepok jidatnya sendiri.