“Sopo dulu dong bosnya! Ya nggak bos?” lanjut Jarwo sambil tersenyum geli-geli bagaimana gitu. Tangannya yang kekar mencolek lengan bosnya yang berkacak pinggang tidak diturunkan. Apa tidak lelah ya? Tanya saja sendiri. Berani tidak? Kalau tidak berani nanti kusampaikan ke Jarwo, biar dia yang bertanya.
“Huss, berani-beraninya kamu menyebut namaku seperti itu.
“Push up!” bentak si bos yang ternyata bernama Sopo lebih keras. Memekakkan telinga. Jarwo hanya melongo.
“Kapan bos?” tanya Jarwo tak mengerti.
“Jarwo-jarwo! Besok!” yang disemprot hanya mesam mesem saja.
“S-E-K-A-R-A-N-G!”
“Iya bos” seperti sapi dicongok hidungnya saja. Jarwo push up.
***
Chek-chek, satu dua, tes-tes. Semakin netes semakin kemretes. Suara sound system yang sedang dicek menggema. Memenuhi ruang Desa Tempuk sore itu. Langit terlihat cerah. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Musik menambah riuh suasana sore ini. Anak-anak berlari-lari di area lapangan tempat pertunjukkan. Tapi mereka tidak bisa mendekati panggung pertunjukkan karena terhalang pagar pembatas setinggi orang dewasa.