"Ayah, jangan lupa doakan Kakak! Ayah mau ke kantor kan? Doakan Kakak cepat sembuh!"
Dua hari lalu sempat agak panik. Kakak kena cacar bersamaan dengan alergi. Seluruh badannya bengkak disertai bintik kecil berair sebesar biji jagung. Setelah diinterogasi, pasal bengkaknya ketemu. Dia berbisik. Habis jajan kerupuk katanya. Lalu cacarnya? Ada teman sekolahnya yang kena, dugaannya tertular dari sana. Â
"Memang lagi musim cacar! Anak saya juga kena." Sebut salah satu orang tua siswa.
"Anak-anak yang kena cacar jangan diizinkan sekolah dulu. Takutnya satu sekolah bisa tertular!" ucap saya kemudian.
Ya, satu sekolah sebab, titik belajar siswa di sekolah Kakak hanya ada di satu ruangan besar (masjid), yang memungkinkan siswa dari tiga kelas bertemu. Tiga kelas untuk tiga tingkatan.
Kakak sebenarnya mau tetap sekolah. Hanya saat awal kena cacar, tak ada yang mau dekat-dekat katanya, di angkot pun demikian. Salah seorang temannya mengumumkan.
"Jangan dekat Tsaaqif, nanti bisa tertular cacar!" Kakak bercerita sambil menyembunyikan wajahnya. Dia sangat sedih
Maka hari itu, jelas sekali jika cacar dan alerginya amat mengganggu. Suasana hatinya berada di titik rendah.
"Dulu ayah seusia kamu, juga kena cacar!"
"Oh iya Yah?"
"Iya...! Ayah juga ga sekolah, ga keluar-keluar rumah. Ini lihat, masih ada bekasnya di badan ayah. Gara-gara digaruk terlalu kuat, akhirnya meninggalkan bekas!"
"Bekasnya bisa hilang?"
"Bisa. Asal jangan selalu digaruk. Tiga sampai empat hari lukanya sudah mulai mengering. Nanti bekal lukanya bisa diolesi madu. Kira-kira enam bulan sudah bisa hilang, atau malah lebih lama dari itu!"
"Tapi bisa hilangkan Yah?!"
"Iya...Asal jangan selalu digaruk!"
"Kalau yang bengkak-bengkak ini namanya apa?"
"Oh itu alergi. Ayah juga sering alergi macam itu. Ga bisa makan telur, ayam goreng, jajan sembarang, malah ga bisa kena debu. Bisa bengkak seluruh badan!"
"Ini juga bisa sembuh Yah?"
"Bisa...! Dah hafal toh doa minta sembuh?"
"Oh iya...! Lupa...! Apa lagi doanya?"
Allahumma aafini fii badani, allahumma aafini fi sam'I, allahumma aafini fi bashari. La ilaaha illa anta.Â
 Maka saya beberapa kali menuntun Kakak merapal doa itu. Bahwa ada zat yang Maha Menyembuhkan. Sengaja, menahan diri untuk tak lekas ke dokter. Berupaya melakukan beberapa hal sederhana. Termasuk memberikan beberapa perlakuan sebagaimana dulu para orang tua memperlakukan anak-anaknya yang terkena cacar.
***
Bagi para orang tua, anak yang terkena cacar sebaiknya tidak disekolahkan dulu. Pasalnya, anak bisa menahan sakit, tapi belum terlalu kuat bertahan dari sakit yang diakibatkan oleh caci-maki alias bully-an teman-temannya. Lingkungan pendidikan kita masih belum ramah terhadap banyak hal, termasuk soal per-cacaran. Langkah penyembuhan yang saya lakukan. Tetap memberikan asupan seperlunya. Untuk memperbaiki suasana hati sang anak, bisa berbagi cerita, sembari membolehkan dia mengasup makanan kesukaannya. Es Krim, Pizza dan banyak ragam makanan kegemaran anak yang masih bisa ditoleransi.
Menjaga kebersihan tubuh tetap dilakukan. Mandi tetap rutin seperti biasa, meski yang diprioritaskan hanya mandi pagi, pagi sekali, sebelum mata hari terbit. Pola makannya dijaga, mulai dari sarapan, makan siang, dan malam.Â
Setiap makan disuguhkan pula secangkir teh hangat, yang oleh kami dicampur dengan kasumba. Kasumba ini sejenis obat tradisional yang banyak digunakan oleh orang bugis sebagai penurun panas. Pas diasup penderita cacar untuk mengeluarkan seluruh bentol cacar yang masih bersembunyi di bawah lapisan kulit.
***
"Yah! Tadi aku nangis. Abang injak kakiku. Sakit sekali...!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H