Pada usia 26 tahun, Tolstoy kembali ke Petersburg setelah perang usai dan bertemu para penulis. Mereka menerima Tolstoy sebagai bagian dari mereka serta menyanjungnya. Pada saat itu, Tolstoy telah mengadopsi pandangan-pandangan para penulis tersebut tentang kehidupan. Pandangan-pandangan tersebut benar-benar menghapus upaya Tolstoy sebelumnya untuk membenahi diri.Â
Pandangan-pandangan tersebut justru melengkapi teori yang membenarkan ketidakbermoralan hidup Tolstoy. Pandangan-pandangan itu sendiri adalah hidup secara umum terus berkembang dan dalam perkembangan ini, manusia yang berpikir mempunyai peranan penting, kemudian di antara orang-orang yang berpikir itu, Tolstoy dan kawanannya (para seniman dan penyair) yang berpengaruh paling besar.
Pekerjaan mereka ialah mengajar manusia melalui karya. Pengajaran itu berjalan begitu saja tanpa disadari. Namun untuk yang tidak disadarinya itu, para penulis beserta Tolstoy memperoleh uang. Tolstoy menikmati makanan enak, pondokan, wanita-wanita, pergaulan, serta ketenaran yang menunjukkan bahwa yang diajarkannya itu sangat bagus.Â
Pemaknaan puisi dan perkembangan hidup ini ibarat suatu agama dan Tolstoy merupakan salah satu imamnya. Tolstoy merasa bahwa posisi imam yang dijalaninya sangat menyenangkan dan menguntungkan. Ia jalani masa yang indah ini tanpa meragukan keabsahannya. Namun pada tahun kedua dan khususnya pada tahun ketiga, Tolstoy mulai meragukan kesempurnaan aktivitas ini dan mulai meninjaunya.
Alasan pertama keraguan Tolstoy ialah bahwa para imam dari aktivitas ini sama sekali tidak sesuai dengan diri mereka sendiri. Sebagian mengatakan bahwa mereka ialah guru yang terbaik dan yang paling berguna, sedangkan yang lain mengajarkan yang salah. Namun sebagian yang lainnya juga mengatakan hal yang serupa.Â
Mereka kemudian bertikai, saling mencurangi, dan saling memperdayai. Banyak juga dari mereka yang tidak peduli tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, namun yang penting ialah mencapai tujuan masing-masing dengan memanfaatkan aktivitas mereka. Hal tersebut kemudian membuat Tolstoy meragukan keabsahan apa yang dijalankan dan dinikmatinya selama ini.
Mengingat masa itu dan kondisi pikirannya sendiri serta keadaan kawan-kawannya seprofesi, Tolstoy merasa bahwa itu sungguh ironis, menyedihkan dan mengerikan, serta menimbulkan perasaan seakan-akan ia pernah tinggal di rumah sakit jiwa. Ribuan orang yang seprofesi dengannya (termasuk dirinya sendiri) bertikai dan bersikap kasar satu sama lain.Â
Semua menulis karya kemudian mencetaknya untuk melakukan pengajaran kepada orang lain. Semua itu dilakukan tanpa masing-masing dari mereka mau mengakui bahwa sebenarnya mereka tak tahu apapun, bahkan terhadap pertanyaan paling sederhana dalam kehidupan, tentang apa yang baik dan yang buruk. Mereka semua tidak bersedia untuk saling mendengarkan.Â
Sebaliknya, bicara bersamaan, kadang saling mendukung dan memuji agar ganti didukung dan dipuji, kadang juga marah satu sama lain. Masing-masing dari mereka menganggap diri mereka paling benar -- persis seperti yang terjadi di rumah sakit jiwa. Tolstoy kemudian menyadari bahwa apa yang ia dan kawanannya selama ini adalah sia-sia.
Enam tahun kemudian, Tolstoy menikah dan mulai membina sebuah keluarga. Kondisi baru kehidupan keluarga yang bahagia benar-benar mengalihkan Tolstoy dari pencarian akan makna kehidupan secara umum. Seluruh kehidupannya terpusat kepada istri serta anak-anaknya, dan karena itu ia peduli terhadap mata pencahariannya.Â
Upayanya yang berawal dari penyempurnaan diri secara pribadi, kemudian penyempurnaan diri secara umum, kini terganti lagi oleh upaya untuk memastikan keadaan terbaik bagi dirinya maupun keluarganya. Selama masa itu (15 tahun tepatnya), ia tetap menulis karena ia telah merasakan godaan imbalan uang yang melimpah serta pujian atas pekerjaan yang ia sendiri sebenarnya menganggap pekerjaan itu tidak penting.