Sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya sejak kecil, S berlutut untuk berdoa, sedangkan kakaknya berbaring dan mengawasinya. Ketika S selesai berdoa kemudian merebahkan diri untuk tidur, kakaknya bertanya padanya, "Jadi kau masih melakukannya?" Sejak saat itu, S berhenti berdoa atau pun ke gereja.Â
Saat S menceritakan kisah ini kepada Tolstoy, terhitung sudah 30 tahun S tidak lagi berdoa, tidak menerima Komuni (sebuah prosesi dalam agama Kristen) atau pun pergi ke gereja. S kehilangan keyakinan atas agama bukan semata-mata mengikuti pendirian kakak-kakaknya, bukan pula keinginannya.Â
Keyakinan tersebut hilang hanya karena ucapan kakaknya. Ibarat tekanan sebuah jari pada tembok yang siap runtuh, tembok itu runtuh karena bobotnya sendiri. S menyadari bahwa yang saat itu dilakukannya (berlutut, berdoa, membuat tanda salib) hanyalah kesia-siaan.
Satu-satunya iman yang tinggal di dalam diri Tolstoy, iman yang mendorongnya untuk menyempurnakan diri sendiri, akhirnya terlepas juga, karena ia tidak tahu bagaimana penyempurnaan itu dan apa obyeknya. Ia sudah mencoba untuk menyempurnakan diri sendiri secara rohani. Dipelajarinya apa yang bisa ia pelajari, apapun yang 'dilemparkan' kehidupan padanya.Â
Ia mencoba untuk menyempurnakan hasratnya. Ia buat aturan dan ia coba untuk melaksanakannya. Ia sempurnakan dirinya secara jasmani, mengolah kekuatan dan ketangkasan dengan berbagai macam latihan. Semua ini dianggapnya sebagai usaha mencapai kesempurnaan. Pada awalnya, tentu kesempurnaan moral, namun segera tergantikan dengan kesempurnaan secara umum.Â
Hasrat yang pada awalnya untuk menjadi lebih baik di matanya sendiri maupun di mata Tuhan, terganti untuk menjadi lebih baik di mata orang lain. Hasrat itu kemudian berubah lagi untuk menjadi lebih kuat, lebih terkenal, lebih penting, dan lebih segala-galanya daripada yang lainnya.Â
Tolstoy hanya menghadapi hinaan dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya ketika ia mencoba untuk mengekspresikan hasratnya yang baik secara moral. Sebaliknya, ketika ia berhasil menurunkan hasrat moralnya itu, ia disemangati dan dipuji.
Maka inilah yang terjadi pada masa muda Tolstoy selama 10 tahun. Ambisi, cinta kekuasaan, ketamakan, hal-hal yang menimbulkan nafsu berahi, kebanggaan, kemarahan, dan balas dendam -- semua itu dihormati.Â
Tolstoy merasa diterima orang-orang di sekitarnya ketika ia tunduk pada kebejatan-kebejatan itu. Sulit bagi Tolstoy untuk tidak memikirkan masa-masa itu tanpa kengerian, kemuakan sekaligus kepiluan.Â
Apalagi Tolstoy juga pernah bertempur dalam Perang Krim, sehingga ia juga telah membunuh banyak lelaki dan mengajak mereka berduel yang pada akhirnya berujung pembunuhan. Berdusta, merampok, berzina, mabuk-mabukan, memeras tenaga para petani semua kejahatan sudah dilakukan Tolstoy. Terhadap semua itu, orang-orang memujinya dan mereka yang sezaman dengannya dianggap serta menganggap Tolstoy sebagai orang yang bermoral.
Serupa dengan yang terjadi dalam hidupnya, pada masa-masa itu, Tolstoy juga mulai menulis dengan kesombongan, ketamakan, dan kebanggaan. Untuk memperoleh uang dan ketenaran, Tolstoy perlu menyembunyikan kebaikan dan memaparkan kejelekan.