Jika pemerintah terlambat atau gagal menanganinya maka Indonesia akan menghadapi krisis lingkungan yang semakin dalam, dengan bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan abrasi yang terjadi secara terus-menerus. Kondisi ini akan terus diperparah dengan peningkatan suhu global, deforestasi masif, dan pencemaran sehingga kualitas hidup masyarakat dan keberlanjutan pembangunan nasional akan terus terancam.
Akar penyebab krisis lingkungan di Indonesia adalah kebijakan pembangunan yang mendorong eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan kegagalan dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsekuensi jangka panjang dari kebijakan yang merusak lingkungan ini bisa diantisiapsai dengan penekanan pada pentingnya reorientasi kebijakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.
CSPS UI berpandangan bahwa reorientasi kebijakan lingkungan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut bisa dilakukan dengan pemerintah dengan merespons berbagai kebijakan masa lalu yang telah menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, degradasi lingkungan, dan krisis ekologi yang mengancam ketahanan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Seiring langkah tersebut, pemerintahan baru juga harus memastikan bahwa industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan tidak lagi merusak ekosistem dengan menerapkan standar ketat terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pemulihan lahan pasca-ekstraksi.Â
Untuk reorientasi kebijakan dalam rangka memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pemerintahan Prabowo perlu mendorong praktik ekonomi yang berkelanjutan melalui kebijakan pajak hijau, insentif bagi perusahaan yang menerapkan prinsip ramah lingkungan, dan dukungan bagi inovasi dalam teknologi hijau dan energi terbarukan sedini mungkin.
Rekomendasi ini tentu menjadi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Akan tetapi, bisa menjadi resolusi untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang berdampak langsung pada manusia dan seluruh kehidupan di bumi.
5. Krisis Energi
Transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan adalah langkah mendesak dalam menghadapi krisis energi global. Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi. Pemerintahan Prabowo harus mendorong investasi besar-besaran dalam pengembangan teknologi energi terbarukan serta menciptakan kebijakan yang mendukung akselerasi transisi energi secara cepat dan efektif.
Untuk mewujudkan transisi ini, pemerintah menerapkan langkah-langkah strategis seperti pembangunan infrastruktur energi hijau, pemberdayaan SDM, kemitraan dengan sektor swasta dan internasional, serta desentralisasi energi terbarukan. Pemerintah harus mengakselerasi transisi energi dari fosil dengan strategi pemanfaatan kekayaan alam untuk energi terbarukan. SDA Indonesia yang melimpah yang belum dimanfaatkan secara optimal akan dioptimalisasi untuk transformasi dari energi fosil menjadi energi terbarukan.
Energi terbarukan merujuk pada sumber daya atau energi yang dapat diperbaharui secara alami dan tidak terbatas dalam hal ketersediaannya. Energi terbarukan merupakan jenis sumber daya yang dapat diperbaharui dalam waktu singkat dan dapat digunakan secara berkelanjutan sehingga dikenal sebagai energi bersih karena tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Potensi energi terbarukan berasal dari sumber-sumber alamiah seperti sinar matahari, angin, hujan, panas bumi, dan biomassa.
Di masa depan, energi terbarukan diproyeksikan akan menjadi kunci dalam mencapai target net-zero emissions dan memperkuat ketahanan energi nasional. Untuk mencapai target emisi nol bersih, Indonesia perlu mempercepat transisi dari energi fosil yang mendominasi sistem energi saat ini menuju sistem energi terbarukan.