Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPDB dan Kecurangan yang Selalu Berulang

28 Juni 2024   13:01 Diperbarui: 28 Juni 2024   13:07 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendaftaran PPDB sekolah negeri (Sumber: Detik.com)

Setiap musim penerimaan peserta didik baru (PPDB) sekolah negeri, isu kecurangan dan tipu muslihat dalam proses dan mekanisme seleksi menjadi siswa baru di sekolah pasti akan mencuat. Entah itu melibatkan oknum guru dan kepala sekolah sebagai ordal atau orang dalam dengan orang tua murid, campur tangan "gaib" dari oknum pejabat yang lebih tinggi posisinya, atau menyiasati aturan dari PPDB-nya. Banyak istilah yang lahir dari praktik-praktik muslihat ini, seperti beli bangku, lewat belakang, hinggga yang paling baru, jalur "siluman".

Keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah pilihan sudah menjadi prioritas utama dalam mendaftar sekolah. Namun, ketika keinginan tersebut dihadapkan pada berbagai kendala administratif dan ketatnya persaingan, banyak orang tua yang memilih jalan pintas dengan cara melanggar hukum atau ilegal. Salah satu modus yang paling umum sekarang adalah pemalsuan dokumen Kartu Keluarga (KK) demi mendapatkan kuota di sekolah pilihan.

Fenomena ini bukanlah hal baru dalam PPDB sekolah negeri. Tahun demi tahun, kasus pemalsuan dokumen ini terus berulang dan terbongkar. Keinginan yang begitu kuat untuk memasukkan anak ke sekolah pilihan sering kali membuat orang tua mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan integritas. Mereka beranggapan bahwa kecurangan adalah cara paling mudah, praktis, dan ampuh untuk mengatasi segala kendala yang ada. Dalam pandangan mereka, selama anak bisa diterima di sekolah impian, segala cara, termasuk cara yang tidak jujur, bisa dibenarkan.

Persepsi masyarakat tentang sekolah pilihan atau impian ini bisa bermacam-macam. Ada yang memandang sekolah impian karena popularitasnya sebagai sekolah unggulan atau sekolah favorit. Ada juga yang memilih sekolah tertentu dengan alasan dekat, murah, banyak teman atau saudara, hingga lingkungan sekolah yang baik. Alasan-alasan inilah yang membuat para orang tua siswa memaksakan diri untuk memasukkan anaknya di sekolah pilihan dengan menghalalkan segala cara.

Motif Kecurangan

Ada dua motif utama yang mendorong masyarakat untuk melakukan kecurangan ini, yaitu:  persepsi bahwa sekolah unggulan adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan anak di masa depan. Persepsi ini membuat orang tua merasa terdesak untuk mengupayakan segala cara agar anak mereka bisa diterima di sekolah tersebut. Kedua, sistem zonasi yang diterapkan dalam PPDB sekolah negeri sering dianggap tidak adil, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang tidak memiliki sekolah berkualitas. Zonasi ini membatasi pilihan sekolah, sehingga orang tua yang merasa terjebak di zona yang tidak menguntungkan akan mencari celah untuk bisa menghindarinya.

#1 Sekolah Unggulan

Menyekolahkan anak di sekolah unggulan  memiliki nilai sosial yang sangat tinggi dalam masyarakat kita. Nama-nama sekolah favorit mulai dari SD hingga SMA sudah didata sebagai tujuan sekolah anak-anak kelak. Begitu anak bisa masuk ke sekolah unggulan, derajat orang tua akan terangkat di mata tetangga dan lingkungan tempat tinggalnya.

Sebelum sistem zonasi berlaku, beberapa sekolah unggulan di daerah, terutama tingkat kota menjadi sasaran perburuan orang tua dan impian calon siswa baru. Status dan prestise sekolah yang diisi dengan siswa-siswa yang cerdas, serta fasilitas belajar yang lengkap dan mentereng,  membuat sebagian orang tua sangat tergila-gila dengan sekolah tersebut. Apalagi sekolah-sekolah tersebut sempat menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Ilustrasi sekolah pilihan yang menjadi target dalam PPDB sekolah negeri (Sumber: Joglosemarnews.com)
Ilustrasi sekolah pilihan yang menjadi target dalam PPDB sekolah negeri (Sumber: Joglosemarnews.com)

Sekolah-sekolah ini memiliki privilese atau hak istimewa untuk menyeleksi siswa berprestasi secara akademik dari daerah manapun tanpa memandang jaraknya. Akibatnya, sekolah-sekolah unggulan memonopoli siswa-siswa berprestasi di kotanya. Sekolah-sekolah lain dianggap sebagai buangan meskipun sama-sama berstatus negeri.

Ketika sistem zonasi berlaku, keistimewaan sekolah unggulan dalam merekrut siswa berperestasi berkurang drastis. Pamornya sebagai sekolah unggulan tetap terpelihara meskipun sudah bercampur dengan siswa yang memiliki kemampuan akademik rata-rata yang ada dalam zonasinya. Bagi orang tua yang masih ingin mendapatkan efek gengsi menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah unggulan ini, sudah pasti akan menempuh cara apa saja agar anaknya bisa diterima. Salah satunya adalah manipulasi data domisili dan KK.

#2 Sistem Zonasi 

Berlakunya sistem zonasi sungguh merepotkan buat para orang tua yang memiliki anak berpotensi tinggi secara akademis tetapi domisilinya di luar area zonasi sekolah berkualitas. Mereka cenderung menganggap sistem ini kurang fair karena mengabaikan potensi akademik yang menjadi syarat kualitas pendidikan di sekolah nanti. Jarak rumah dengan sekolah yang menjadi standar sistem zonasi menghilangkan peluang mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berkualitas pilihan.

Selain itu, ada juga orang tua yang memaksakan anaknya masuk ke sekolah pilihan karena statusnya sebagai sekolah negeri. Dengan bersekolah di sekolah negeri, setidaknya biaya pendidikan bisa menjadi lebih murah, status orang tua bisa lebih baik, dan peluang untuk mendapatkan fasilitas pendidikan seperti beasiswa juga terbuka. Keuntungan-keuntungan inilah yang menjadi motif orang tua untuk memasukkan anaknya di sekolah negeri meskipun syarat jarak tidak terpenuhi.

Untuk menggapai cita-cita memasukkan anak ke sekolah pilihan, entah karena sekolah unggulan atau sekadar karena sekolah negeri, Sebagian orang tua atau wali murid mengakali dokumen kependudukan untuk mengatasi sistem zonasi yang diberlakukan dalam PPDB sekolah negeri. Jarak yang ditentukan dalam sistem zonasi adalah jarak terjauh dari rumah ke sekolah adalah 1,36 kilometer,  dan jarak terdekat adalah 61 meter.

Sistem zonasi ini mengandung unsur ketidakadilan karena sekolah tidak transparan dalam menentukan patokan yang baku untuk menentukan jarak sekolah dengan rumah calon siswa sebagai dasar dari sistem zonasi. Ada yang menggunakan aplikasi Google Maps, ada yang memakai letak geografis, ada juga yang menggunakan hitungan subyektif panitia.

Hasilnya, siswa yang diterima pun beragam-ragam jarak rumah dengan sekolahnya. Pertama, ada siswa yang diterima bukan yang tinggal di area zonasi tersebut. Tetapi secara dokumen atau kartu keluarga dia sah, bahwa yang bersangkutan berada di area zonasi. Ada juga siswa yang lolos ], tetapi domisilinya di luar zonasi. Terakhir, adalah siswa di luar zonasi yang diterima dengan cara pemalsuan data domisili dan dokumen KK.

Akibatnya, peserta PPDB sekolah negeri yang diterima melalui sistem zonasi ini tidak 100 persen merupakan siswa yang berada di area zonasi yang ditentukan. Meskipun mayoritas peserta PPDB yang diterima adalah siswa yang berada dalam area zonasi, masih ada siswa siswa yang seharusnya berada di dalam zonasi, yang menurut perhitungan berada di dalam zonasi.

Dengan rentang yang tidak terlalu jauh tersebut membuat banyak orang tua yang kelabakan, apalagi mereka yang tinggalnya sudah berada di luar batas jarak sistem zonasi. Motif kecurangan lalu muncul, karena didorong oleh ambisi dan cita-cita untuk memasukkan anaknya ke sekolah berkualitas pilihan.

Modus Tipu Muslihat

Fenomena kecurangan dalam PPDB mencerminkan betapa besarnya keinginan masyarakat untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka, meski dengan cara tipu muslihat.  Kasus kecurangan terungkap lagi  dalam pelaksanaan PPDB Tahun Ajaran 2024/2025, terutama pada kasus pemalsuan data domisili dan Kartu Keluarga (KK). Pengeditan dokumen seperti KK, KTP, akta lahir, dan ijazah yang ditawarkan secara daring melalui media sosial pun menjadi pilihan agar bisa meloloskan anak masuk ke sekolah pilihan. Apalagi jasa edit dokumen tersebut tarifnya relatif terjangkau, yaitu Rp100 ribu per dokumen. Dalam hitungan menit, semua dokumen sudah diperbaiki lalu hasilnya dikirim melalui aplikasi WhatsApp (WA) sebagai dokumen "aspal" (asli tapi palsu).

Ilustrasi verifikasi data PPDB sekolah negeri untuk menghindari pemalsuan data (Sumber: CNNIndonesia.com)
Ilustrasi verifikasi data PPDB sekolah negeri untuk menghindari pemalsuan data (Sumber: CNNIndonesia.com)

Pemalsuan dokumen sebagai syarat PPDB sekolah negeri yang dilakukan secara daring ini menjadi fenomena yang mencuat selama pelaksanaan PPDB tahun 2024. Sebetulnya modus manipulasi data ini bukanlah jenis tipu muslihat yang baru. Fenomena pemalsuan dokumen ini hanya pengulangan dari tahun-tahun sebelumnya. Munculnya kasus kecurangan serupa secara berulang-ulang ini, justru mencerminkan cara berpikir masyarakat yang cenderung mencari solusi instan untuk mengatasi berbagai kendala dalam PPDB, terutama yang berkaitan dengan penerapan sistem zonasi.

Menurut pengamat dan pakar pendidikan, kecurangan sebagai bentuk muslihat dan permufakatan jahat dalam seleksi calon siswa baru di sekolah tidak pernah berubah dalam jenis, modus, dan operasional di lapangan. Pemalsuan KK, siswa titipan dari oknum, dan juga jual beli bangku, siswa "siluman" sebenarnya kasus yang sudah lama terjadi. Modusnya masih sama, yakni menyiasati sistem penerimaan yang resmi dengan cara-cara yang tidak elok dan cenderung melanggar hukum.

Untuk kasus siswa titipan, jual beli bangku, siswa "siluman" modusnya serupa yakni penerimaan siswa baru atas pesanan atau permintaan oknum-oknum pejabat, anggota parlemen, pesohor, orang-orang berduit, bahkan wartawan di luar jalur PPDB. Dalam kasus-kasus ini, para kepala sekolah, terutama di daerah tentu tidak punya nyali menolak atasannya, misalnya oknum kepala dinas, apalagi dinas pendidikan di wilayahnya yang memiliki relasi kuasa dengan wakil-wakil rakyat hingga wartawan.

Jangankan lewat jalur belakang, untuk menyekolahkan anak ke sekolah pilihan, banyak orang tua berani mengambil risiko yang lebih bahaya dengan cara manipulasi data domisili. Padahal, pemalsuan dokumen kependudukan untuk mengakali seleksi PPDB adalah tindak pidana karena melanggar Pasal 94 UU No. 24 tentang Administrasi Kependudukan. Ancaman hukumannya adalah kurungan paling lama enam tahun atau denda Rp75 juta.

Sejatinya, sistem zonasi yang diberlakukan dalam PPDB sekolah negeri bertujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan dengan mengutamakan siswa yang berada di dekat lokasi sekolah. Namun, implementasi sistem ini sering kali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang tua yang merasa bahwa zonasi membatasi akses anak mereka ke sekolah-sekolah pilihan. Bagi mereka yang tinggal di daerah dengan sekolah yang dianggap kurang berkualitas, zonasi menjadi penghalang besar. Hal ini mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa mengakali sistem tersebut, salah satunya dengan memalsukan data domisili dan KK secara daring. Dalam konteks ini, persaingan ketat untuk mendapatkan tempat di sekolah unggulan menjadi pemicu utama maraknya manipulasi data.

Di sisi lain, fenomena kecurangan ini juga mencerminkan lemahnya kendali mutu dan pengawasan dalam proses verifikasi dokumen. Sekolah-sekolah yang seharusnya menjalankan proses seleksi dengan ketat sering kali kecolongan karena kurangnya sistem verifikasi yang efektif. Pemalsuan dokumen secara daring menjadi lebih mudah dilakukan ketika pihak sekolah atau dinas pendidikan tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk mendeteksi keaslian data yang diterima.

Selain itu, kurangnya sanksi tegas bagi pelaku kecurangan juga turut memperburuk keadaan. Ketidakmampuan untuk menindak dengan tegas pelaku manipulasi data menciptakan kesan bahwa kecurangan adalah risiko kecil yang layak diambil demi mencapai tujuan. Meski kecurangan ini selalu terbongkar setiap tahun, karena penindakan yang kurang tegas membuat pelaku tidak jera. Hal ini menciptakan kesan bahwa kecurangan dan modus tipu muslihat yang lain bisa diulang tanpa konsekuensi yang berarti.

Kasus PPDB Jawa Barat

Jawa Barat merupakan provinsi yang paling tinggi kasus kecurangan atau manipulasi data domisili dan dokumen KK untuk PPDB Tahun Ajaran 2023/2024. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mencatat terjadinya manipulasi data domisili yang dilakukan oleh 4.791 peserta PPDB. Ada juga peserta yang memanipulasi dokumen KK menggunakan KK milik orang lain (menumpang). Kabupaten Bogor menjadi daerah yang siswanya paling banyak melakukan manipulasi data dan dokumen KK. Peringkat berikutnya adalah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung. 

Hasil penyelidikan Disdik Jabar mengungkapkan adanya dugaan sindikat pemalsu dokumen KK dalam pelaksanaan PPDB 2023. Keterlibatan sindikat ini terungkap setelah Disdik menemukan 89 kasus pemalsuan KK di 15 kabupaten/kota. Sindikat pemalsu dokumen KK ini membuat Quick Response Code atau "QR Code" palsu yang ada pada KK. Kode palsu itu kemudian diisi link yang tertuju pada situs yang seolah-olah milik Disdukcapil.

Oknum-oknum sindikat pemalsu menyambungkan QR yang ada di dokumen KK dengan URL yang menyerupai link Disdukcapil sehingga verifikator data PPDB melihatnya seperti dokumen asli. Akibatnya, tim verifikator sempat meloloskan 89 peserta tersebut sebelum akhirnya didapat ada data palsu dalam dokumen KK yang dilampirkan sebagai persyaratan PPDB.

Disdik Jabar telah membatalkan penerimaan 4.791 siswa yang terindikasi melakukan kecurangan sambil terus melakukan penyelidikan tentang keberhasilan mereka lolos dalam PPDB. Salah satu temuan Disdik Jabar adalah link QR pada dokumen KK yang dipalsukan dibuat seolah-olah sama dengan link Disdukcapil.

Mengakhiri Lingkaran Setan?

Kecurangan dalam PPDB yang terus terulang setiap tahun mencerminkan kegagalan sistemik dalam penanganan isu pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk meminimalisir berbagai tipu muslihat yang muncul, fenomena kecurangan tetap marak terjadi. Alasan mendasar yang paling logis adalah ketidakmampuan sistem pendidikan kita untuk memberikan akses yang adil dan merata kepada semua peserta didik. Sistem zonasi, yang seharusnya menjadi solusi untuk pemerataan pendidikan, justru menjadi sumber ketidakadilan baru bagi banyak keluarga.

Selain itu, lemahnya pengawasan dan kurangnya sanksi tegas terhadap pelaku kecurangan juga ikut menyuburkan kondisi ini. Ketika orang tua melihat bahwa tindakan manipulasi dapat dilakukan tanpa konsekuensi serius, mereka merasa terdorong untuk mencoba segala cara demi mendapatkan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Kurangnya penerapan teknologi verifikasi yang canggih dan tidak adanya integritas dalam proses pemeriksaan dokumen menambah peluang terjadinya kecurangan.

Untuk mengakhiri lingkaran setan ini, perlu ada komitmen kuat dari pemerintah dan semua pemangku kepentingan dalam menciptakan sistem yang transparan, adil, dan tegas dalam menindak pelanggaran. Pemerintah perlu menciptakan sebuah sistem seleksi yang lebih fleksibel sehingga masyarakat tidak terlibat dalam persaingan ketat untuk mendapatkan tempat di sekolah pilihan. Edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya nilai-nilai kejujuran dan integritas juga harus terus digalakkan.

Depok, 28/6/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun