Fenomena kecurangan dalam PPDB mencerminkan betapa besarnya keinginan masyarakat untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka, meski dengan cara tipu muslihat.  Kasus kecurangan terungkap lagi  dalam pelaksanaan PPDB Tahun Ajaran 2024/2025, terutama pada kasus pemalsuan data domisili dan Kartu Keluarga (KK). Pengeditan dokumen seperti KK, KTP, akta lahir, dan ijazah yang ditawarkan secara daring melalui media sosial pun menjadi pilihan agar bisa meloloskan anak masuk ke sekolah pilihan. Apalagi jasa edit dokumen tersebut tarifnya relatif terjangkau, yaitu Rp100 ribu per dokumen. Dalam hitungan menit, semua dokumen sudah diperbaiki lalu hasilnya dikirim melalui aplikasi WhatsApp (WA) sebagai dokumen "aspal" (asli tapi palsu).
Pemalsuan dokumen sebagai syarat PPDB sekolah negeri yang dilakukan secara daring ini menjadi fenomena yang mencuat selama pelaksanaan PPDB tahun 2024. Sebetulnya modus manipulasi data ini bukanlah jenis tipu muslihat yang baru. Fenomena pemalsuan dokumen ini hanya pengulangan dari tahun-tahun sebelumnya. Munculnya kasus kecurangan serupa secara berulang-ulang ini, justru mencerminkan cara berpikir masyarakat yang cenderung mencari solusi instan untuk mengatasi berbagai kendala dalam PPDB, terutama yang berkaitan dengan penerapan sistem zonasi.
Menurut pengamat dan pakar pendidikan, kecurangan sebagai bentuk muslihat dan permufakatan jahat dalam seleksi calon siswa baru di sekolah tidak pernah berubah dalam jenis, modus, dan operasional di lapangan. Pemalsuan KK, siswa titipan dari oknum, dan juga jual beli bangku, siswa "siluman" sebenarnya kasus yang sudah lama terjadi. Modusnya masih sama, yakni menyiasati sistem penerimaan yang resmi dengan cara-cara yang tidak elok dan cenderung melanggar hukum.
Untuk kasus siswa titipan, jual beli bangku, siswa "siluman" modusnya serupa yakni penerimaan siswa baru atas pesanan atau permintaan oknum-oknum pejabat, anggota parlemen, pesohor, orang-orang berduit, bahkan wartawan di luar jalur PPDB. Dalam kasus-kasus ini, para kepala sekolah, terutama di daerah tentu tidak punya nyali menolak atasannya, misalnya oknum kepala dinas, apalagi dinas pendidikan di wilayahnya yang memiliki relasi kuasa dengan wakil-wakil rakyat hingga wartawan.
Jangankan lewat jalur belakang, untuk menyekolahkan anak ke sekolah pilihan, banyak orang tua berani mengambil risiko yang lebih bahaya dengan cara manipulasi data domisili. Padahal, pemalsuan dokumen kependudukan untuk mengakali seleksi PPDB adalah tindak pidana karena melanggar Pasal 94 UU No. 24 tentang Administrasi Kependudukan. Ancaman hukumannya adalah kurungan paling lama enam tahun atau denda Rp75 juta.
Sejatinya, sistem zonasi yang diberlakukan dalam PPDB sekolah negeri bertujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan dengan mengutamakan siswa yang berada di dekat lokasi sekolah. Namun, implementasi sistem ini sering kali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang tua yang merasa bahwa zonasi membatasi akses anak mereka ke sekolah-sekolah pilihan. Bagi mereka yang tinggal di daerah dengan sekolah yang dianggap kurang berkualitas, zonasi menjadi penghalang besar. Hal ini mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa mengakali sistem tersebut, salah satunya dengan memalsukan data domisili dan KK secara daring. Dalam konteks ini, persaingan ketat untuk mendapatkan tempat di sekolah unggulan menjadi pemicu utama maraknya manipulasi data.
Di sisi lain, fenomena kecurangan ini juga mencerminkan lemahnya kendali mutu dan pengawasan dalam proses verifikasi dokumen. Sekolah-sekolah yang seharusnya menjalankan proses seleksi dengan ketat sering kali kecolongan karena kurangnya sistem verifikasi yang efektif. Pemalsuan dokumen secara daring menjadi lebih mudah dilakukan ketika pihak sekolah atau dinas pendidikan tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk mendeteksi keaslian data yang diterima.
Selain itu, kurangnya sanksi tegas bagi pelaku kecurangan juga turut memperburuk keadaan. Ketidakmampuan untuk menindak dengan tegas pelaku manipulasi data menciptakan kesan bahwa kecurangan adalah risiko kecil yang layak diambil demi mencapai tujuan. Meski kecurangan ini selalu terbongkar setiap tahun, karena penindakan yang kurang tegas membuat pelaku tidak jera. Hal ini menciptakan kesan bahwa kecurangan dan modus tipu muslihat yang lain bisa diulang tanpa konsekuensi yang berarti.
Kasus PPDB Jawa Barat
Jawa Barat merupakan provinsi yang paling tinggi kasus kecurangan atau manipulasi data domisili dan dokumen KK untuk PPDB Tahun Ajaran 2023/2024. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mencatat terjadinya manipulasi data domisili yang dilakukan oleh 4.791 peserta PPDB. Ada juga peserta yang memanipulasi dokumen KK menggunakan KK milik orang lain (menumpang). Kabupaten Bogor menjadi daerah yang siswanya paling banyak melakukan manipulasi data dan dokumen KK. Peringkat berikutnya adalah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung.Â