Inilah fenomena umum dunia kerja yang sering dijumpai selama ini. Perusahaan-perusahaan menciptakan tren serupa dalam merekrut karyawan, yaitu berpendidikan sarjana dan memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. Dalam proses rekrutmen, banyak perusahaan di Indonesia menetapkan syarat IPK minimum biasanya di atas 3,0 atau bahkan 3,5. Hal ini menjadi polemik karena IPK tinggi tidak selalu mencerminkan kemampuan praktis atau keterampilan yang relevan dengan pekerjaan. Lulusan dengan IPK tinggi mungkin unggul dalam aspek akademik, tetapi tidak selalu memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi nyata di tempat kerja.
Relasi yang bersifat link and match antara perguruan tinggi dengan industri ini tampaknya belum terjalin secara optimal. Pasalnya, masalah pokok yang menjadi problem utama pendidikan tinggi di Indonesia selama ini adalah kualitas pendidikan yang tidak merata. Banyak perguruan tinggi belum mampu menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang memadai untuk bersaing di pasar kerja global.
Beberapa perguruan tinggi terkenal menawarkan pendidikan berkualitas tinggi, sementara yang lain masih tertinggal dalam hal kurikulum, fasilitas, dan kualitas pengajaran. Kurikulum yang ketinggalan zaman dan kurangnya fokus pada pengembangan keterampilan praktis membuat lulusan kurang siap menghadapi tuntutan dunia kerja yang dinamis dan cepat berubah.
Untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, perguruan tinggi di Indonesia perlu beradaptasi dengan cepat. Mereka harus memastikan bahwa kurikulum mereka selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. Selain itu, program magang, proyek nyata, dan kolaborasi dengan perusahaan harus ditingkatkan untuk memberikan pengalaman praktis kepada mahasiswa.
Kemendikbudristek juga sudah menginisiasi program Kampus Merdeka yang bertujuan untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada mahasiswa dalam memilih mata kuliah dan mendapatkan pengalaman praktis di industri. Program ini juga mendorong kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri untuk memastikan bahwa kurikulum yang diajarkan relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Biaya Pendidikan yang Tinggi
Biaya pendidikan tinggi yang mahal, atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi, menjadi hambatan bagi banyak calon mahasiswa. Mahalnya biaya pendidikan membuat akses terhadap pendidikan tinggi semakin sulit bagi keluarga berpenghasilan rendah. Ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, serta menghambat mobilitas sosial yang seharusnya didorong oleh pendidikan.
Belakangan ini memang mulai muncul keluhan masyarakat tentang kenaikan UKT yang tidak sejalan dengan realitas ekonomi di masyarakat. Warga yang berpenghasilan Rp1 jutaan bisa dikenai UKT hingga Rp7 juta. Kesenjangan yang terlalu lebar antara kemampuan ekonomi calon mahasiswa dengan ketentuan UKT yang sangat tinggi tersebut, membuat banyak calon mahasiswa harus mengubur mimpi untuk kuliah di PTN karena kemampuan ekonomi yang terbatas.
Peluang mereka untuk memperbaiki kualitas hidup mereka pun pupus lantaran mereka sudah pasti tidak akan diterima di perusahaan yang bagus karena tidak memiliki ijazah sarjana. Padahal, untuk mencetak generasi emas, generasi muda sekarang harus mendapat kesempatan yang setara untuk masuk ke perguruan tinggi sebagai tangga mobilitas sosial mereka kelak. Kondisi ini semakin parah jika masyarakat sampai menilai bahwa pemerintah membiarkan anggapan kuliah tidak wajib lagi ini sebagai sebuah kebenaran di kalangan masyarakat tidak mampu.