Mereka yang Kandas Masuk Senayan
Oleh: Sultani
Dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 hanya 8 partai politik yang dinyatakan lolos ke DPR berdasarkan perolehan suara masing-masing partai. Partai-partai tersebut adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PKS, dan PAN. Sepuluh partai lainnya gagal lolos ke Senayan karena perolehan suaranya tidak memenuhi ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold/PT) 4 persen.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan 6 partai politik lainnya dinyatakan kandas ke DPR karena terkendala kekurangan suara. Mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, partai politik yang gagal meraup sedikitnya 4 persen suara sah nasional tidak dapat mengonversi suaranya menjadi kursi di Senayan.
Berdasarkan rekapitulasi KPU, PPP memperoleh 5.878.777 suara dari 151.796.630 total suara nasional. Artinya, PPP hanya mampu menguasai 3,87 persen suara sah nasional yang tersebar di 84 daerah pemilihan. PSI yang sempat diisukan mendapat tambahan suara secara “misterius” yang membuat perolehan suaranya meningkat drastis dalam waktu beberapa hari saja. Kenyataannya, partai Mawar Merah ini hanya memperoleh 2,80 persen berdasarkan rekapitulasi KPU yang diumumkan pada 20 Maret 2024.
Dari partai-partai yang kandas masuk Senayan ini saya akan membuat pemetaannya berdasarkan pengalaman menjadi peserta pemilu. Saya akan mengklasifikasikannya menjadi 3 kelompok, yaitu partai senior, partai yunior, dan partai baru.
Partai Senior
Partai senior adalah partai yang sangat berpengalaman dalam pemilu dan berhasil memperoleh kursi DPR secara signifikan. PPP adalah satu-satunya partai senior yang kandas ke DPR pada Pemilu 2024.
Jika merunut sejarahnya, PPP sudah menjadi organisasi peserta pemilu dari zaman Orde Baru hingga Reformasi. Selama 5 kali menjadi peserta pemilu di era Orde Baru, prestasi PPP sangat gemilang karena berhasil mengumpulkan kursi DPR dalam jumlah yang signifikan. Dalam perjuangan politiknya, PPP sendiri adalah partai yang selalu dimata-matai dan menjadi sasaran “permainan politik” oleh rezim.
PPP pernah tampil sebagai “oposisi” Orde Baru tahun 1980-an ketika menolak Rancangan Undang-undang Pernikahan yang diusulkan oleh pemerintah. Perlawanan PPP yang ditunjukkan dengan aksi walk out ketika pembahasan RUU tersebut, merupakan puncak sikap PPP sebagai partai Islam yang menolak sejumlah pasal yang hendak dipaksakan masuk ke dalam RUU tersebut.
Ketika Orde Baru digantikan oleh Reformasi, PPP masih memiliki pamor secara politik, baik dari basis massa maupun penguasaan kursi DPR. Pemilu 1999 memvalidasi kekuatan PPP tersebut. Dari perolehan suara, PPP masih mendapat dukungaan 10 persen lebih dari rakyat, sedangkan penguasaan kursi, PPP masih bisa memperoleh 12 persen kursi DPR.
Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 suara PPP berkurang secara signifikan. Penurunan suara PPP ini seiring dengan meningkatnya pamor partai Islam sempalan PPP, yang menyusutkan pengaruh politik aliran. Selain itu, kaderisasi kepemimpinan yang lamban juga menjadi penyebab partai ini kurang lincah dalam beradaptasi dan berinovasi.
Kaderisasi yang lamban ini ditambah dengan konflik internal tanpa rekonsiliasi membuat partai ini kehabisan energi hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan internal. Persoalan internal tersebut berpengaruh pada merosotnya perolehan PPP dari Pemilu 2014 dan 2019 yang tejadi secara signifikan. Pemilu 2019, suara pemilih PPP hanya 4 persen lebih.
Baca juga:
Gagal Tembus Ambang Batas Pemilu 2024, PPP Terhempas dari DPR
Kemerosotan suara PPP ini semakin menjadi ketika memasuki Pemilu 2024. Partai ini seolah tenggelam di dalam gegap gempita koalisi untuk pemilihan presiden. Di sini, pamor PPP sebagai partai senior tenggelam karena dianggap lemah dengan kekuatan yang dimiliki hanya sebesar 4 persen. Hasilnya, suara PPP di Pemilu 2024 turun lagi menjadi 3,87 persen.
Partai Yunior
Partai dengan kategori sebagai partai yunior mengacu pada pengalaman keikutsertaan dalam pemilu dan pernah memiliki kursi DPR. Di kelompok ini ada juga partai-partai yang sudah lama berdiri, tapi gagal masuk parlemen. Partai yang pernah mengikuti Pemilu meskipun baru sekali bisa saya kategorikan sebagai partai yunior.
Pengalaman menjadi peserta pemilu menjadi indikator pengalaman mereka dalam mengelola organisasi dan melakukan konsolidasi politik dengan konstituen di seluruh Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan kemampuan caleg dalam menerima dan menyerap aspirasi rakyat.
Partai yang masuk kategori yunior adalah Hanura, PSI, Perindo, Garuda, dan PBB. Hanura merupakan partai yunior yang pernah memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2009 dan 2014. Namun, partai ini kandas masuk lagi ke Senayan sejak Pemilu 2019 karena perolehan suaranya hanya 1,54 persen. Untuk Pemilu 2024, Hanura hanya memperoleh 0,72 persen suara.
Berikutnya adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang selama ini selalu aktif menjadi peserta pemilu. Ketika PT diberlakukan sebesar 4 persen kedua partai ini langsung kandas masuk Senayan sejak Pemilu 2014. Kedua partai ini selalu gagal menembus PT 4 persen pada Pemilu 2019 dan 2024. Pemilu 2024 suara PBB dan PKPI mentok di bawah 1 persen.
Partai yunior yang lainnya adalah PSI, Perindo, dan Garuda yang pernah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu 2019. Pada pemilu 2019 suara PSI hanya 1,89 persen, sedangkan Perindo 2,67 persen. Pada Pemilu 2024, perolehan suara PSI meningkat menjadi 2,80 persen sementara Perindo turun menjadi 1,28 persen. Partai Garuda perolehan suaranya selalu di bawah 0,50 persen baik di Pemilu 2019 maupun 2024.
Partai Baru
Partai-partai baru mengacu pada status kehadiran mereka dalam Pemilu 2024 sebagai partai yang baru pertama kali menjadi peserta pemilu. Ada 4 partai baru yang cukup menonjol meskipun suaranya di bawah 1 persen. Partai tersebut adalah Partai Gelora dengan perolehan suara 0,84 persen; Partai Buruh 0,64 persen; Partai Ummat 0,42 persen; dan PKN 0,21 persen.
Partai Gelora menonjol karena tokoh pendirinya merupakan sempalan dari PKS, yaitu Fahri Hamzah dan Anis Matta. Dalam Pilpres, baik Fahri maupun Anis Matta sangat getol membela capres Prabowo-Gibran. Partai Buruh juga cukup dikenal melalui ketua umumnya Muhammad Said Iqbal yang dikenal sebagai tokoh buruh nasional.
Partai Ummat juga menonjol melalui pendirinya Amien Rais yang juga dikenal sebagai pendiri Partai Amanat Nasional (PAN). Keberadaan mantan Ketua MPR dan mantan capres ini membuat Partai Ummat sebagai partai baru yang cukup menonjol. Partai Kebangkitan Nasional (PKN) meskipun baru, nama Anas Urbaningrum sebagai pendiri dan ketua umumnya adalah bekas Ketua Umum Partai Demokrat dan Ketua HMI.
Saat ini hasil rekapitulasi KPU Pemilu 2024 belum diresmikan karena beberapa partai politik yang merasa dirugikan sudah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. PPP adalah partai yang paling awal mendaftarkan diri gugatan perkara terhadap hasil rekapitulasi KPU yang diumumkan pada 20 Maret lalu.
Persoalan ambang batas parlemen 4 persen yang digunakan sejak Pemilu 2014 hingga 2024 ini sudah dikritik karena dinilai tidak efektif untuk menyederhanakan partai peserta pemilu. Kandasnya partai-partai masuk DPR karena persoalan suaranya tidak bisa dikonversi menjadi kursi. Penghalangnya adalah ambang batas yang tidak bisa mencapai 4 persen.
Baca juga:
Problem Ambang Batas Parlemen Dalam Sistem Pemilu Proporsional
Terkait dengan penggunaan ambang batas 4 persen ini, MK telah memutuskan agar mekanisme penyederhanaan partai politik peserta pemilu agar dicabut pada Pemilu 2029, karena dianggap merugikan rakyat yang telah memberikan suaranya dalam pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H