Ketika Orde Baru digantikan oleh Reformasi, PPP masih memiliki pamor secara politik, baik dari basis massa maupun penguasaan kursi DPR. Pemilu 1999 memvalidasi kekuatan PPP tersebut. Dari perolehan suara, PPP masih mendapat dukungaan 10 persen lebih dari rakyat, sedangkan penguasaan kursi, PPP masih bisa memperoleh 12 persen kursi DPR.
Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 suara PPP berkurang secara signifikan. Penurunan suara PPP ini seiring dengan meningkatnya pamor partai Islam sempalan PPP, yang menyusutkan pengaruh politik aliran. Selain itu, kaderisasi kepemimpinan yang lamban juga menjadi penyebab partai ini kurang lincah dalam beradaptasi dan berinovasi.
Kaderisasi yang lamban ini ditambah dengan konflik internal tanpa rekonsiliasi membuat partai ini kehabisan energi hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan internal. Persoalan internal tersebut berpengaruh pada merosotnya perolehan PPP dari Pemilu 2014 dan 2019 yang tejadi secara signifikan. Pemilu 2019, suara pemilih PPP hanya 4 persen lebih.
Baca juga:Â
Gagal Tembus Ambang Batas Pemilu 2024, PPP Terhempas dari DPR
Kemerosotan suara PPP ini semakin menjadi ketika memasuki Pemilu 2024. Partai ini seolah tenggelam di dalam gegap gempita koalisi untuk pemilihan presiden. Di sini, pamor PPP sebagai partai senior tenggelam karena dianggap lemah dengan kekuatan yang dimiliki hanya sebesar 4 persen. Hasilnya, suara PPP di Pemilu 2024 turun lagi menjadi 3,87 persen.
Partai Yunior
Partai dengan kategori sebagai partai yunior mengacu pada pengalaman keikutsertaan dalam pemilu dan pernah memiliki kursi DPR. Di kelompok ini ada juga partai-partai yang sudah lama berdiri, tapi gagal masuk parlemen. Â Partai yang pernah mengikuti Pemilu meskipun baru sekali bisa saya kategorikan sebagai partai yunior.
Pengalaman menjadi peserta pemilu menjadi indikator pengalaman mereka dalam mengelola organisasi dan melakukan konsolidasi politik dengan konstituen di seluruh Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan kemampuan caleg dalam menerima dan menyerap aspirasi rakyat.