Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membangun Rekonsiliasi di Tengah Perbedaan Pilihan Politik

18 Februari 2024   11:00 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:33 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun Rekonsiliasi di Tengah Perbedaan Pilihan Politik
Oleh: Sultani

Pemilu telah usai namun sisa-sisa kemarahan dan kebencian antar pendukung capres masih membara meskipun tensinya agak menurun. Sisa-sisa kemarahan tersebut bukanlah sebuah fenomena tunggal, tetapi sudah menumpuk bersama dengan kebencian-kebencian yang muncul jauh sebelum pemilu diselenggarakan. Bahkan, bagi sebagian kalangan kebencian dan kemarahan terhadap kelompok tertentu sengaja dipelihara untuk diekspresikan ketika pemilu.

Inilah yang membuat setiap selesai pemilu, Indonesia selalu menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali harmoni dan kesatuan di tengah masyarakat yang terbelah.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, selama 10 tahun bangsa ini dibayang-bayangi oleh perseteruan antara kelompok pro Prabowo Subianto dan kelompok pro Joko Widodo sebagai buntut dari hasil Pemilihan Presiden 2014 dan 2019.

Perseteruan tersebut dimanifestasikan dengan penyebutan "kadrun" untuk kubu Prabowo dan "cebong" untuk kubu Jokowi. Polarisasi ini kembali menemukan salurannya pada Pemilu 2024 meskipun penyebutan kadrun dan cebong ini tidak lagi dominan dalam perang kebencian kubu pendukung capres.

Pasca-pemilu 2024 masyarakat masih terbelah oleh perbedaan dukungan terhadap calon presiden dan partai politik. Polarisasi ini berpotensi menyulut ketegangan politik yang dapat menimbulkan konflik sosial dan merusak hubungan antarwarga. Jika konflik ini tidak ditangani dengan baik, ketegangan sosial bisa berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan yang baru terbentuk. Dampaknya bisa merembet menjadi gangguan terhadap pembangunan.

Untuk itu, pemerintah, aparat keamanan, penegak hukum, dan penyelenggara pemilu harus bertindak bijak dan jujur dalam menghadapi berbagai aksi protes masyarakat, terutama pendukung capres yang merasa dirugikan dengan adanya narasi kecurangan pemilu. Perlu diingat bahwa masyarakat sekarang sudah cerdas dan kritis. Mereka juga well-informed sehingga selalu memantau setiap perkembangan data dan berita terkait hasil pemilu yang paling baru.

Sumber: Tribunnews.com
Sumber: Tribunnews.com

Dengan berbagai berita dan video yang melintas di lini masa media sosial membuat masyarakat semakin tahu dan semakin melek dengan informasi, terutama informasi politik terkini. Mereka terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap isu kecurangan pemilu baik yang dilakukan di TPS maupun di luar TPS. Bahkan, beberapa kalangan sudah membingkai isu kecurangan ini jauh sebelum proses pemilihan dimulai.

Akumulasi kekecewaan dan kemarahan yang bermuara pada kebencian terhadap rezim ini yang akan menjadi ancaman serius untuk stabilitas pemerintahan yang baru kelak. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah karena dianggap sebagai hasil dari pemilu yang curang berpotensi memancing munculnya ketegangan politik yang berlarut-larut. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan stabilitas politik yang diperlukan sebagai prasyarat jalannya pembangunan bangsa.

Karena itu, dengan kesadaran akan bahayanya ketegangan politik yang berlarut-larut ini maka dibutuhkan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat dan pemimpin untuk mengutamakan pembangunan harmoni sebagai langkah awal menuju persatuan yang lebih solid. Harmoni merupakan pondasi utama bagi kesatuan bangsa yang kuat dan stabil. Tanpa harmoni, sulit untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan kemajuan bersama.

Konteks Konflik Pasca-pemilu

Pemilu di Indonesia bukan sekadar proses demokrasi, tetapi juga menjadi arena pertarungan ideologi, kepentingan politik, dan aspirasi masyarakat yang beragam. Karena itu pemilu di Indonesia selalu diiringi oleh dinamika politik yang kompleks dan beragam.

Salah satu dinamika politik yang paling menonjol selama ini adalah munculnya konflik dan ketegangan sosial yang berimbas pada stabilitas sosial dan politik negara. Konflik pasca-pemilu di Indonesia selalu dibingkai dalam konteks polarisasi dukungan yang berakar pada pluralisme sosial, kompetisi politik, serta polaritas dan perpecahan.

#1. Pluralisme Sosial

Konteks pluralisme politik yang mewarnai konflik pascapemilu merupakan konsekuensi logis dari karakter Indonesia sebagai negara yang kaya dengan keberagaman, baik dari segi budaya, agama, dan etnis.

Pluralitas ini, meskipun menjadi kekayaan budaya yang luar biasa, ternyata bisa menjadi bahaya laten dengan dampak yang signifikan dalam konteks konflik pasca-pemilu di Indonesia. Pluralitas sosial selalu muncul dalam pemilu yang tercermin pada beragamnya opini dan preferensi politik masyarakat.

Salah satu contoh bahaya laten dari pluralitas sosial ini adalah terjadinya pembelahan dalam masyarakat akibat preferensi politik berdasarkan agama yang bermuara pada mobilisasi politik identitas ketika musim pemilu seperti sekarang.

Pluralitas sosial ini juga terlihat pada beragamnya opini dan pandangan masyarakat terkait dinamika politik selama pemilu berlangsung. Opini yang dimobilisasi berdasarkan aliran politik, ideologi, dan aspirasi politik selama ini selalu berujung pada serangan-serangan politik dengan tendensi untuk mendiskreditkan lawan.

Opini tersebut berkembang menjadi ujaran kebencian, kampanye hitam dan kampanye negatif terhadap lawan. Konteks konflik pasca-pemilu yang dilatari oleh pluralisme ini bisa menjadi sumber konflik politik jika tidak dikelola dengan baik.

Sumber: Tirto.id
Sumber: Tirto.id

#2. Persaingan yang Ketat

Konteks berikutnya adalah kompetisi atau persaingan politik yang ketat di antara para kandidat dan para pendukungnya membuat pemilu menjadi momen yang sangat tegang. Para capres dan caleg dari partai politik saling bersaing untuk mendapatkan dukungan sebanyak mungkin, yang memicu retorika yang keras dan saling serang antar lawan politik.

Persaingan politik yang ketat seringkali memicu penggunaan retorika yang keras dan serangan pribadi antara kandidat dan partai politik. Serangan-serangan ini bertujuan untuk merusak citra lawan politik dan mendapatkan keuntungan politik darinya. Perang retorika terjadi di semua lini media kampanye, baik di ruang publik maupun di media sosial.

Fenomena persaingan yang ketat ini sangat nyata dalam arena debat capres dan cawapres yang diselenggarakan KPU dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Dalam arena tersebut kelihatan sekali para capres dan cawapres saling serang secara terbuka dan agresif. Dinamika konflik gagasan atau retorika yang berlebihan merupakan cerminan dari konteks konflik pascapemilu selama ini.

Serangan-serangan yang intens terhadap lawan politik ini bertujuan untuk memengaruhi pembentukan identitas politik masyarakat, dengan mengidentifikasi diri sesuai dengan capres yang mereka dukung. Identifikasi inilah yang kemudian memperkuat polarisasi politik yang menciptakan ketegangan antar pendukung yang berbeda pandangan.

Banyak juga para pendukung kandidat menggunakan propaganda dan berita bohong (hoax) untuk memengaruhi opini publik terhadap kandidat tertentu. Penyebaran informasi yang tidak akurat atau tendensius melalui media massa dan media sosial diharapkan bisa menimbulkan konflik, memengaruhi opini, dan memperbesar kesenjangan pandangan para pendukung kandidat yang menjadi sasaran tembak.

Ketatnya persaingan antar kandidat juga menciptakan ketidakpastian terkait hasil pemilu. Sudah menjadi rahasia umum, kandidat yang kalah cenderung akan menolak hasil pemilu dan mengajukan klaim kecurangan untuk memicu protes dan konflik pasca-pemilu. Dalam konteks ini, banyak juga masyarakat yang terlibat dalam proses politik sering kali merespons dengan emosi yang kuat terhadap hasil pemilu. Kekalahan kandidat yang mereka dukung dapat memicu reaksi berupa kekecewaan, atau bahkan kemarahan yang bisa memperkeruh situasi politik dalam masyarakat.

#3. Polarisasi dan Perpecahan 

Salah satu dampak negatif dari proses pemilu adalah meningkatnya polarisasi dan perpecahan di antara masyarakat. Fanatisme terhadap calon tertentu dapat memicu konflik antar kelompok, terutama jika tidak ada sikap saling menghargai dan toleransi. Polarisasi politik mengacu pada perpecahan antara dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan politik yang bertentangan, sementara perpecahan mencakup konflik atau ketegangan yang terjadi akibat perbedaan pandangan politik tersebut.

Sebagai konteks yang mendorong terjadinya konflik pasca-pemilu polarisasi dan perpecahan selalu mengacu pada perbedaan ideologi dan kepentingan. Tingkat polarisasi politik di Indonesia biasanya menggambarkan perbedaan ideologi dan kepentingan antara kelompok-kelompok yang bersaing. Pandangan yang bertentangan tentang arah kebijakan pemerintah, sistem ekonomi, atau isu-isu sosial bisa menjadi faktor pemecah kubu-kubu yang saling berbeda.

Polarisasi dan perpecahan tersebut kemudian diamplifikasi oleh media sosial. Dengan luasnya akses ke media sosial, pendapat-pendapat yang ekstrem dan berita palsu atau hoaks dapat menyebar dengan cepat, memperkuat perpecahan dan memperdalam jurang antar kelompok.

Sumber: RRI.co.id
Sumber: RRI.co.id

Jangan lupa kalau identitas etnis dan agama juga dapat menjadi faktor pendorong polarisasi politik di Indonesia. Di daerah-daerah yang memiliki keragaman etnis dan agama yang tinggi, pandangan politik sering kali berkaitan dengan identitas kelompok, yang dapat memperkuat perpecahan antar komunitas.

Tingkat polarisasi dan perpecahan juga bisa dipicu oleh bahasa yang provokatif dari para pemimpin politik atau pendukungnya. Serangan-serangan pribadi atau tuduhan kecurangan tanpa bukti dapat memperkuat ketegangan antar kelompok dan memicu konflik pasca-pemilu.

Rekonsiliasi Demi Kemajuan Bangsa

Masyarakat perlu menyadari bahwa persaingan politik yang berlebihan dapat merusak keutuhan dan kedamaian bangsa. Pemerintah perlu mendorong terbentuknya ruang diskusi yang inklusif dan terbuka, baik di media sosial maupun di ruang-ruang publik, di mana pendapat yang beragam dapat didengar dan dihargai. Dalam ruang diskusi ini juga retorika politik yang membakar emosi para pendukung harus dihindari dan diganti dengan orasi yang difokuskan pada visi dan program.

Sumber: CNBCIndonesia.com
Sumber: CNBCIndonesia.com

Setelah pemilu, masyarakat perlu terlibat dalam proses rekonsiliasi yang mencakup dialog antar kelompok, pembangunan kepercayaan, dan kerja sama lintas-masyarakat untuk memperbaiki hubungan yang terganggu selama masa kampanye. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan literasi media dan kesadaran akan bahaya hoaks dan informasi palsu. Edukasi tentang cara memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya dapat membantu mengurangi polarisasi yang disebabkan oleh penyebaran informasi yang tidak benar.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat mengurangi dampak buruk pluralisme, persaingan politik, polarisasi, dan perpecahan pasca-pemilu.

Dengan kerja sama dan komitmen bersama, bangsa Indonesia dapat melangkah maju menuju kedamaian, kemajuan, dan pembangunan yang berkelanjutan.

Depok, 18 Februari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun