Aksara Latin merupakan aksara termuda yang dikenal oleh masyarakat Nusantara. Meski demikian, aksara ini memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia dalam membangun persatuan dan menggapai kemerdekaan.Â
Para pejuang dan pendiri bangsa menyebarkan narasi Indonesia merdeka ke seluruh pelosok Nusantara dengan tulisan-tulisan yang ditulis dalam huruf Latin.Â
Pertukaran gagasan yang diperantarai huruf Latin ini berlangsung secara intens antartokoh lintas aliran sosial-politik selama bertahun-tahun ternyata mengalir pada satu muara yaitu menuntut Indonesia Merdeka yang bebas dari segala macam bentuk penjajahan.
Akasara Latin atau huruf Latin diketahui pertama kali masuk ke Nusantara melalui bangsa Portugis pada abad ke-16 Masehi.Â
Orang-orang Portugis memperkenalkan huruf Latin untuk pertama kalinya melalui sekolah yang didirikan oleh Antonio Galvao pada 1536. Sekolah milik penguasa kolonial Portugis ini merupakan bentuk pendidikan formal pertama yang ada di Nusantara-Indonesia.
Pada masa awal perkenalan, huruf Latin lebih banyak digunakan untuk menulis bahasa Portugis dan bahasa daerah yaitu bahasa Ambon-Maluku.Â
Namun, sejak misionoaris Faransiskus Xaverius mengenalkan bahasa Melayu kepada masyarakat Ambon, huruf Latin lalu digunakan untuk menulis bahasa Melayu.
Intensitas penggunaan bahasa Melayu yang terus menyebar di Maluku berjalan beriringan dengan misi penyebaran agama Katolik kepada masyarakat.Â
Untuk mendekatkan agama Katolik kepada masyarakat Ambon-Maluku, Fransiskus Xaverius  meminta seseorang di Malaka menerjemahkan ayat-ayat pegangan Nasrani,  seperti "Doa Bapa Kami", "Salam Maria", dan "Syahadat Rasuli".Â
Dengan membawa terjemahan ayat-ayat pegangan tersebut, Sang Misionaris  berkeliling di Ambon sambil membawa lonceng. Siapa yang bisa menghafal ayat-ayat pegangan itu, mereka langsung dibaptis di bawah nama Bapa, Putra, dan Rohkudus.
Metode penggunaan bahasa Melayu pada ayat-ayat dalam Alkitab yang dilakukan oleh misionaris Fransiskus Xaverius tersebut berlangsung selama 100 tahun.Â
Tahun 1663, untuk pertama kalinya, Alkitab yang menjadi kitab suci orang Katolik dicetak dan diterbitkan dalam bahasa Melayu. Alkitab berbahasa Melayu ini merupakan cetakan beraksara latin tertua dalam sejarah pustaka Indonesia.
Kemahiran berbahasa Melayu merupakan warisan paling berharga Portugis kepada masyarakat Ambon sampai Belanda menggantikan posisi mereka di pulau Maluku.Â
Ketika Belanda berkuasa, bahasa Melayu langsung digunakan sebagai bahasa administratif. Untuk kepentingan Belanda, pemerintah memberi izin kepada Zending mendirikan sekolah guru yang mengajari masyarakat Ambon dan Maluku berbahasa Melayu.Â
Sekolah guru ini merupakan lembaga pendidikan formal Belanda pertama di Maluku yang merupakan pusat pemerintahan kolonial pertama di Nusantara.
Ketika pusat pemerintahan kolonial berpindah ke Batavia, sekolah-sekolah Belanda banyak bermunculan di daerah ini. Sekolah pertama didirikan oleh seorang guru asal Belanda berdarah Portugis, yaitu Cornelis Senen.
Sekolah ini dibangun di bawah perkumpulan agama Kristen. Pada 1779 murid sekolah di Batavia diperkirakan tidak lebih dari tujuh ribu orang. Tahun 1845 Â Menteri jajahan J.C. Baud memerintahkan pembangunan sekolah dasar non-Kristen dengan lima mata pelajaran pokok yang diajarkan, yaitu membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan pemetaan.
Beberapa tahun kemudian mulai muncul sekolah-sekolah dasar baru di pusat keresidenan-keresidenan di Pulau Jawa.Â
Dari 20 sekolah dasar pada 1852, kemudian berkembang menjadi 533 sekolah dasar negeri untuk pribumi. Sementara untuk sekolah dasar swasta pribumi mencapai 611 sekolah.Â
Pada zaman ini sekolah-sekolah Kristen yang dikelola Zending Protestan maupun misi Katolik juga banyak berdiri di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa yang padat penduduknya.
Perkembangan sekolah bergaya Belanda di Batavia dan beberapa daerah di Nusantara ini mencerminkan strategi pemerintah kolonial memformalisasi lembaga pendidikan sebagai wadah untuk mewariskan kultur dan peradaban Barat yang modern.Â
Di samping menjadikan sekolah sebagai sarana untuk menyebarluaskan Injil, sekolah misi atau zending juga menawarkan keuntungan lain bagi para pengikut barunya, terutama dalam akses terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban modern.Â
Kelak, ketika pemerintah kolonial mulai lebih memperhatikan urusan pendidikan kaum pribumi, sekolah-sekolah misi berperanan sebagai dasar pijakan bagi perkembangan lebih jauh dari dunia pendidikan kaum pribumi.
Politik Etis
Setelah mendirikan sekolah bergaya Eropa yang dikenal sebagai Europesche Lagere School (ELS) sebagai sekolah model Eropa di Hindia Belanda, pemerintah melanjutkan pendirian sekolah untuk kalangan pribumi yang dibuat berjenjang berdasarkan ras dan status sosial ekonomi.Â
Pendirian sekolah-sekolah untuk kalangan pribumi ini mulai populer seiring dengan dicanangkannya Politik Etis pada awal abad ke-20.Â
Sekolah-sekolah yang populer untuk rakyat yang dikenal dalam sejarah seperti Sekolah Rakyat, HIS, MULO tumbuh subur hingga pertengahan abad.
Sekolah-sekolah formal yang didirikan pemerintah Belanda ini menjadi saingan dari sistem pendidikan tradisional, terutama di wilayah-wilayah di mana Islam memiliki pengaruh yang kuat, terutama di Jawa dan Sumatera.Â
Di sini, anak-anak dari golongan bangsawan, pedagang Muslim, dan keluarga-keluarga yang taat agama lainnya dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren, surau, meusanah, atau dayah. Lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan warisan institusi pendidikan sistem religio-politik tradisional sebelum diperkenalkannya sistem pendidikan modern dari Eropa.
Dekade awal abad ke-20 menjadi awal bagi pendidikan modern yang merupakan sinar penerang dari Politik Etis. Akses pendidikan bagi petani dan orang-orang desa mulai terbuka meskipun level pendidikan dan pengajarannya jauh tertinggal dengan anak-anak dari keluarga yang lebih mampu.Â
Meski demikian, pemerintah mewajibkan semua sekolah tersebut menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan huruf Latin sebagai ejaan baku yang diajarkan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan di Hindia Belanda.
Pembakuan Aksara Latin
Pemerintah Belanda sendiri telah menetapkan penggunaan Ejaan Van Ophuijsen pada 1901. Ejaan ini menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan bahasa Belanda yang rancang oleh Charles A. van Ophuijsen.Â
Ejaan van Ophujsen merupakan standardisasi sistem penulisan abjad melalui penetapan ejaan Latin untuk bahasa Melayu yang berlaku di seluruh Hindia Belanda.
Untuk diketahui, ejaan Latin ini sudah dirintis sejak Belanda mendirikan sekolah guru di Maluku yang pengajarannya menggunakan bahasa Melayu.Â
Tokoh-tokoh seperti Pigafetta, de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancaert, dan Joannes Roman merupakan ahli bahasa Melayu dari Eropa yang sudah merintis pemberlakuan sistem baca tulis secara seragam melalui karya tulis mereka. Jadi, kurang lebih tiga abad lamanya aksara Latin digodok oleh para ahli bahasa sebelum dijadikan sebagai ejaan yang baku di Hindia Belanda.
Dengan adanya perubahan pada sistem ejaan, maka ejaan bahasa Melayu yang pada awalnya menggunakan aksara Arab Melayu (abjad Jawi/Arab gundul) berubah menjadi aksara Latin.Â
Huruf Latin yang digunakan untuk menulis bahasa Melayu baku harus sesuai ejaan bahasa Belanda, karena secara de facto Belanda adalah penguasa di Nusantara.
Ejaan van Ophuijsen menempatkan huruf Latin sebagai satu-satunya aksara yang diakui secara resmi oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk digunakan pada lembaga-lembaga pemerintahan, terutama institusi pendidikan dan pelayanan administrasi masyarakat (layanan publik).Â
Dasar dari kebijakan penetapan ejaan ini adalah, penulisan bahasa Melayu di Hindia Belanda sudah menggunakan huruf Latin sejak Belanda pertama kali berkuasa.Â
Untuk Aksara-aksara lama yang sudah ada, pemerintah membiarkan untuk digunakan secara informal dan terbatas untuk urusan-urusaan domestik seperti budaya dan adat istiadat, surat menyurat pribadi, pendidikan dan lain sebagainya.
Aksara Latin meskipun paling terakhir masuk ke Nusantara, namun memiliki pengaruh paling besar dalam perkembangan tradisi literasi di Indonesia.Â
Dukungan secara struktural melalui peraturan negara membuat aksara Latin bisa menembus ke seluruh masyarakat melalui institusi pendidikan seperti sekolah dasar pemerintah untuk pribumi, sekolah swasta untuk pribumi, dan sekolah-sekolah swasta yang eksklusif untuk warga kelas satu dan kelas dua.Â
Pengajaran aksara Latin secara terstruktur, sistematis, dan masif melalui kurikulum pendidikan menghasilkan tradisi literasi yang terbuka, dinamis, rasional, dan modern.Â
Melalui bahan-bahan bacaan beraksara Latin wawasan para murid menjadi lebih terbuka dan lebih empirik sehingga kemampuan literasi mereka berkembang pesat.
Berpendidikan Modern
Yudi Latif dalam buku: Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif (2020) menulis, apa pun motif dari diperkenalkan dan direorganisasinya beragam sekolah tersebut, dampak langsungnya terhadap alam kehidupan di Hindia sangat nyata, yaitu peningkatan secara signifikan jumlah bumiputra yang terdidik secara Barat.
Pada 1900, total pribumi yang mendaftar di sekolah-sekolah negeri dan swasta dari semua jenis dan level sekita 101.003 orang. Total penduduk Hindia saat itu berjumlah 45,1 juta jiwa.
Sepuluh tahun kemudian jumlah pribumi yang terdaftar di sekolah Belanda meningkat hampir 3 kali lipat menjadi 310.496 orang. Tahun 1920 terjadi lonjakan signifikan kaum pribumi yang terdidik secara Barat, yaitu 829.802 orang, dari 48,4 juta total penduduk Hindia. Artinya, terdapat penambahan sebanyak 519.306 pribumi yang masuk ke dalam sistem pendidikan Barat dibanding tahun 1910.
Jumlah penduduk pribumi yang menjadi siswa di sekolah-sekolah Eropa yang meningkat drastis selama 2 dekade tersebut menggambarkan transformasi pengetahuan Barat yang cukup besar terhadap orang-orang pribumi.Â
Mereka sudah mengenyam bangku pendidikan Eropa sehingga sudah terdidik secara modern. Meningkatnya jumlah bumiputra yang terdidik secara Barat ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dalam sejarah.Â
Penguasaan pengetahuan Barat sebagai modal kultural baru menyebabkan peningkatan ekspektasi mereka, sehingga mendesak pemerintah untuk mengakomodasi aspirasi mereka akan kemajuan. Â
Kesadaran Berbangsa
Efek dari penggunaan aksara Latin pada masa kolonialisme ini adalah bangkitnya kesadaran kaum terpelajar di Hindia Belanda untuk bersikap kritis terhadap sistem kolonial melalui media, tulisan, dan orasi.Â
Tradisi literasi masyarakat kepulauan Nusantara saat itu yang terikat pada semangat perjuangan melawan penjajah membuat para intelektual berjuang dengan karya tulis mereka. Sehingga karya-karya seperti buku dan tulisan-tulisan yang bisa menyulut semangat perjuangan  menjadi puncak dari hasil pembelajaran seseorang.
Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 merupakan puncak dari semangat untuk menyatukan seluruh bahasa yang beragam di Nusantara menjadi bahasa Indonesia.Â
Semua pemuda sebagai komponen penggerak perjuangan ini menyatakan kebulatan tekad mereka untuk menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kebulatan tekad ini menemukan momentumnya dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo.
Dalam forum ini muncul keinginan untuk menyempurnakan ejaan Van Ophujsen yang dinilai tidak sesuai dengan semangat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Persatuan, karena masih memakai sistem ejaan bahasa Belanda.Â
Keinginan tersebut baru terwujud dua tahun setelah Indonesia merdeka tepatnya pada 15 April 1957 melalui Putusan Menteri Pengadjaran Pendidikan dan Kebudajaan, tentang perubahan ejaan baru yaitu Ejaan Soewandi.
Ejaan Soewandi merupakan sistem baca tulis pertama yang membawa kedaulatan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi negara dan rakyat di seluruh Nusantara. Ejaan ini menjadi pelopor dalam meletakkan tradisi literasi yang berbasis pada semangat persatuan bangsa. Ejaan Soewandi bersifat menyempurnakan Ejaan van Ophujsen untuk menulis Bahasa Indonesia menggunakan huruf Latin.
Bangsa Modern
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem ejaan bahasa Indonesia terus disempurnakan dan berubah mengikuti semangat zaman. Ejaan-ejaan tersebut tetap melestarikan penggunaan huruf Latin dalam sistem bahasa Indonesia dan untuk menulis bahasa Indonesia.Â
Dinamika sistem ejaan ini menunjukkan bahwa aksara Latin yang digunakan untuk menulis bahasa Indonesia, bisa beradaptasi dengan semangat perubahan zaman sekaligus mengintegrasikan tradisi literasi tradisional yang berbasis aksara-aksara lokal.
Aksara Latin meskipun lahir dari rahim sistem kolonialisme, namun kontribusinya dalam kemajuan peradaban bangsa kita sungguh berarti. Bangsa kita bersatu karena pengetahuan-pengetahuan tentang universalisme bisa dituliskan kembali oleh pemikir dan pendiri bangsa menggunakan bahasa Melayu dan huruf Latin.Â
Karya tulis tersebut tersebar dan dibaca oleh anak bangsa yang lain. Perasaan senasib terbentuk dari jalinan pemikiran yang diuntai melalui aksara Latin. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Republik ini sesungguhnya didirikan oleh para pecinta buku yang rajin menulis dan membaca dalam aksara Latin.
Aksara Latin juga terus mendorong gerak pembangunan bangsa Indonesia setelah meraih kemerdekaan. Generasi-generasi muda yang potensial mendapat kesempatan untuk menimba ilmu pengetahuan ke luar negeri demi kemajuan negara ini.Â
Hasilnya, transformasi ilmu pengetahuan yang berjalan secara lancar telah mendorong bangsa kita bergerak maju menjadi negara medern seperti sekarang.
Oleh: Sultani
Depok, 4 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H