Tahun 1663, untuk pertama kalinya, Alkitab yang menjadi kitab suci orang Katolik dicetak dan diterbitkan dalam bahasa Melayu. Alkitab berbahasa Melayu ini merupakan cetakan beraksara latin tertua dalam sejarah pustaka Indonesia.
Kemahiran berbahasa Melayu merupakan warisan paling berharga Portugis kepada masyarakat Ambon sampai Belanda menggantikan posisi mereka di pulau Maluku.Â
Ketika Belanda berkuasa, bahasa Melayu langsung digunakan sebagai bahasa administratif. Untuk kepentingan Belanda, pemerintah memberi izin kepada Zending mendirikan sekolah guru yang mengajari masyarakat Ambon dan Maluku berbahasa Melayu.Â
Sekolah guru ini merupakan lembaga pendidikan formal Belanda pertama di Maluku yang merupakan pusat pemerintahan kolonial pertama di Nusantara.
Ketika pusat pemerintahan kolonial berpindah ke Batavia, sekolah-sekolah Belanda banyak bermunculan di daerah ini. Sekolah pertama didirikan oleh seorang guru asal Belanda berdarah Portugis, yaitu Cornelis Senen.
Sekolah ini dibangun di bawah perkumpulan agama Kristen. Pada 1779 murid sekolah di Batavia diperkirakan tidak lebih dari tujuh ribu orang. Tahun 1845 Â Menteri jajahan J.C. Baud memerintahkan pembangunan sekolah dasar non-Kristen dengan lima mata pelajaran pokok yang diajarkan, yaitu membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan pemetaan.
Beberapa tahun kemudian mulai muncul sekolah-sekolah dasar baru di pusat keresidenan-keresidenan di Pulau Jawa.Â
Dari 20 sekolah dasar pada 1852, kemudian berkembang menjadi 533 sekolah dasar negeri untuk pribumi. Sementara untuk sekolah dasar swasta pribumi mencapai 611 sekolah.Â
Pada zaman ini sekolah-sekolah Kristen yang dikelola Zending Protestan maupun misi Katolik juga banyak berdiri di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa yang padat penduduknya.
Perkembangan sekolah bergaya Belanda di Batavia dan beberapa daerah di Nusantara ini mencerminkan strategi pemerintah kolonial memformalisasi lembaga pendidikan sebagai wadah untuk mewariskan kultur dan peradaban Barat yang modern.Â