Asuransi Investasi
Sesungguhnya, untuk mengantisipasi resiko penanaman modal asing langsung (terutama di negara berkembang), World Bank (WB) telah memprakarsai Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi tersebut telah diterima World Bank dalam sidang tahunan 1985 di Seoul (Korea Selatan). Semua negara anggota World Bank dan negara Swiss dapat menjadi anggota MIGA (pasal 4).
MIGA berkehendak memajukan arus investasi negara peserta Konvensi MIGA (terutama negara berkembang). Caranya, memberikan jaminan terhadap non commercial risk atas penanaman modal (langsung) dalam suatu negara peserta (host country) yang datangnya dari negara peserta lainnya (investor).
Resiko non komersial adalah resiko terhadap (i) transfer moneter, (ii) pencabutan hak milik atau nasionalisasi dan tindakan serupa, (iii) pelanggaran perjanjian (breach of contract), dan (iv) perang atau perang saudara (pasal 11 a). Namun dapat juga diperluas jaminannya asalkan dimohon oleh host country dan investor.
Indonesia telah meratifikasinya dengan menandatangani konvensi tersebut di Washington DC pada 27 Juni 1986 dan menuangkannya dalam bentuk Kepres No.31/1986 tentang Pengesahan Konvensi MIGA.
Mengadili Persepsi?
Kalau kita cermati, berbagai putusan arbitrase internasional yang mengabulkan gugatan para investor asing akibat penangguhan atau pembatalan proyek di Indonesia adalah lebih merupakan persepsi internasional terhadap buruknya kepastian hukum di Indonesia ketimbang substansi hukum alasan penangguhan atau pembatalan proyek itu sendiri.
Sebab, sesungguhnya kita mempunyai alasan yang kuat dan mendasar untuk me-review berbagai proyek listrik swasta yang telah disetujui di era Soeharto. Baik itu alasan force majeur karena krisis yang menimpa Indonesia maupun alasan terindikasi korupsi, kolusi, atau nepotisme (“KKN”).
Semasa pemerintahannya, Soeharto telah menyetujui 27 kontrak listrik swasta yang ditangani perusahan asing dengan bermitra dengan perusahaan lokal milik keluarga dan kroni Soeharto. Dan berbagai kejangggalan akan kontrak itu pun mulai terungkap pasca kejatuhannya.
Konon, 20 dari 27 proyek listrik swasta itu tidak layak. Bahkan kadang akal-akalan saja (karena sesungguhnya tidak diperlukan). Harga listrik swasta yang harus dibeli PLN terhitung mahal yakni antara US$5,6 sen (Rp504) sampai US$8,6 sen (Rp774) per kWh. Padahal harga listrik PLN saja Rp161 per kWh. Sebagai perbandingan, harga listrik swasta di Thailand, Laos, dan Filipina juga masing-masing sebesar US$4,2 sen, US$1,29 sen, dan 5,3 sen (Trust No.34 Tahun II).
Jelas transaksi tersebut sangat merugikan Indonesia. Karenanya, meski bukan alasan krisis ekonomi pun semestinya pemerintah Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk me-review berbagai proyek listrik swasta tersebut demi kepentingan konsumen Indonesia.