Mohon tunggu...
Liz_Daryu
Liz_Daryu Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Aksi Brutal pada Anak Remaja Bermula dari Keluarga?

7 Agustus 2018   12:05 Diperbarui: 7 Agustus 2018   12:23 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng karena terjadinya tawuran pelajar yang seakan tak pernah usai. Kali ini Aksi tawuran dilakukan oleh sejumlah siswa SMK Sasmita Pamulang dan SMK Bhipuri Cilenggang Serpong pada Selasa (31/7/2018) di Jalan Boulevard Taman Tekno, Tangerang Selatan berawal dari saling menantang di media sosial. (Kompas.com 02/08/18)

Tentang benar atau tidaknya latar belakang penyebab terjadinya peristiwa tersebut, tentu kita serahkan kepada pihak yang berwajib untuk menyelidiki hal tersebut. 

Terlepas dari hal itu, saya hanya ingin mengajak para pembaca untuk berpikir tentang sisi lain dari fenomena maraknya aksi brutal yang terjadi di masyarakat kita.

Jika kita amati, penyebab aksi brutal tersebut terindikasi disebabkan oleh hal-hal yang terkesan sepele. Katakanlah seperti menegur, ber-senggolan, kesalahpahaman, dan lain sebagainya. Rela-kah kita, jika hal-hal sepele tersebut sampai menyebabkan hilangnya harga diri bahkan menghilangkan nyawa seseorang?

Sederet peristiwa tentang aksi brutal tersebut agaknya telah lebih dari cukup bagi kita untuk mulai berpikir tentang : Apa sebenarnya yang membuat seseorang lebih memilih untuk menyelesaikan masalah melalui cara-cara kekerasan fisik?

Secara umum, kita sebagai manusia sudah dibekali budi bahasa sesuai kebudayaan setempat, sebagai bekal untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Lalu, mengapa tak kita gunakan 'bekal' ini untuk menyelesaikan masalah maupun kesalahpahaman antar-sesama manusia?

Melihat orang yang telah dewasa berdasarkan usia kronologis, namun masih memiliki pola penyelesaian masalah menggunakan cara-cara kekerasan fisik membuat saya teringat akan satu materi dalam parenting yang pernah saya ikuti, yaitu resolusi konflik.

Ada 4 tahap keterampilan resolusi konflik, yang pertama, Pasif (bayi), contohnya menangis, berteriak, dsb. Kedua, Serangan Fisik (usia 2 tahun), seperti memukul, menyerang, mengamuk, dsb. Ketiga, Serangan Verbal (usia 3 tahun), semisal berteriak-teriak, membentak, dsb. Keempat, Bahasa (usia 4 tahun dan lebih), yaitu berbicara dengan berbahasa yang baik.

Jadi, jika ada orang dewasa yang lebih memilih untuk menggunakan kekerasan fisik dalam menyelesaikan masalah, maka ia 'seperti' masih berada pada tahap perkembangan anak usia 2 tahun dari segi resolusi konflik. Mengejutkan, bukan?!

Mengapa bisa terjadi demikian? Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang ingin fokus saya sampaikan disini adalah faktor pengalaman-pengalaman yang diterima semasa kecil dulu. Khususnya pada masa pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga.

Pengalaman-pengalaman masa kecil anak yang tersimpan dalam memori jangka panjangnya akan mempengaruhi perilaku serta pengambilan keputusannya di masa dewasa. Termasuk, memutuskan untuk memilih menyelesaikan masalah dengan berbahasa atau dengan cara kekerasan fisik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun