Dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng karena terjadinya tawuran pelajar yang seakan tak pernah usai. Kali ini Aksi tawuran dilakukan oleh sejumlah siswa SMK Sasmita Pamulang dan SMK Bhipuri Cilenggang Serpong pada Selasa (31/7/2018) di Jalan Boulevard Taman Tekno, Tangerang Selatan berawal dari saling menantang di media sosial. (Kompas.com 02/08/18)
Tentang benar atau tidaknya latar belakang penyebab terjadinya peristiwa tersebut, tentu kita serahkan kepada pihak yang berwajib untuk menyelidiki hal tersebut.Â
Terlepas dari hal itu, saya hanya ingin mengajak para pembaca untuk berpikir tentang sisi lain dari fenomena maraknya aksi brutal yang terjadi di masyarakat kita.
Jika kita amati, penyebab aksi brutal tersebut terindikasi disebabkan oleh hal-hal yang terkesan sepele. Katakanlah seperti menegur, ber-senggolan, kesalahpahaman, dan lain sebagainya. Rela-kah kita, jika hal-hal sepele tersebut sampai menyebabkan hilangnya harga diri bahkan menghilangkan nyawa seseorang?
Sederet peristiwa tentang aksi brutal tersebut agaknya telah lebih dari cukup bagi kita untuk mulai berpikir tentang : Apa sebenarnya yang membuat seseorang lebih memilih untuk menyelesaikan masalah melalui cara-cara kekerasan fisik?
Secara umum, kita sebagai manusia sudah dibekali budi bahasa sesuai kebudayaan setempat, sebagai bekal untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Lalu, mengapa tak kita gunakan 'bekal' ini untuk menyelesaikan masalah maupun kesalahpahaman antar-sesama manusia?
Melihat orang yang telah dewasa berdasarkan usia kronologis, namun masih memiliki pola penyelesaian masalah menggunakan cara-cara kekerasan fisik membuat saya teringat akan satu materi dalam parenting yang pernah saya ikuti, yaitu resolusi konflik.
Ada 4 tahap keterampilan resolusi konflik, yang pertama, Pasif (bayi), contohnya menangis, berteriak, dsb. Kedua, Serangan Fisik (usia 2 tahun), seperti memukul, menyerang, mengamuk, dsb. Ketiga, Serangan Verbal (usia 3 tahun), semisal berteriak-teriak, membentak, dsb. Keempat, Bahasa (usia 4 tahun dan lebih), yaitu berbicara dengan berbahasa yang baik.
Jadi, jika ada orang dewasa yang lebih memilih untuk menggunakan kekerasan fisik dalam menyelesaikan masalah, maka ia 'seperti' masih berada pada tahap perkembangan anak usia 2 tahun dari segi resolusi konflik. Mengejutkan, bukan?!
Mengapa bisa terjadi demikian? Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang ingin fokus saya sampaikan disini adalah faktor pengalaman-pengalaman yang diterima semasa kecil dulu. Khususnya pada masa pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga.
Pengalaman-pengalaman masa kecil anak yang tersimpan dalam memori jangka panjangnya akan mempengaruhi perilaku serta pengambilan keputusannya di masa dewasa. Termasuk, memutuskan untuk memilih menyelesaikan masalah dengan berbahasa atau dengan cara kekerasan fisik.Â
Menurut seorang psikolog, Yeti Widiati, mengatakan bahwa 80-90% perilaku buruk anak adalah cermin dari masalah orangtuanya. Maka, kalau anak memukul, perlu dicek juga pola asuh orangtua, hubungan suami-istri atau masalah keluarga lainnya.
Peran Keluarga
Peran keluarga sangat diperlukan dalam me-regenerasi anak-anak agar tercipta generasi yang lebih baik. Setidaknya ada 3 hal yang dapat kita lakukan untuk memulai perubahan ke arah yang lebih baik. Yaitu:
- Mantapkan visi pendidikan dalam keluarga. Tidak ada satu orangtua pun yang mendidik anak dengan tujuan agar kelak sang anak dapat menjadi seorang penjahat. Oleh karena itu, mulailah untuk metapkan tujuan pendidikan yang baik dan jelas untuk anak-anak. Semakin jelas tujuan tersebut, akan semakin memudahkan orangtua untuk terus fokus dan bersemangat saat mendidik anak-anak.
- Kasih sayang. Mendidik anak dengan dilandasi oleh rasa kasih sayang akan mempengaruhi kata-kata maupun perilaku orangtua terhadap anak. Kedisiplinan dan ketegasan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang akan mudah diterima oleh anak.
- Stimulasi. Berikan kesempatan dan dampingi anak-anak untuk berlatih berpikir dengan menyajikan fakta-fakta maupun informasi yang akurat, serta latihlah anak-anak agar dapat menguasai suatu 'skill' sesuai minat dan bakatnya. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita dapatkan. Orangtua yang menamkan nilai-nilai positif dengan penuh kasih sayang, akan membangun anak menjadi pribadi yang positif dan penuh kasih sayang.
Hambatan dan rintangan dalam memperjuangkan suatu kebaikan, tentu akan selalu ada. Namun demikian, semoga kita tetap istiqomah dalam mendidik anak-anak kita menjadi manusia yang bermanfaat dunia-akhirat. Aamiin.
Salam,
Sulistiyaningsih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H