Nyaris seluruh teater klasik Era Pra Kemerdekaan Indonesia menjadi ladang yang subur untuk mengukuhkan ikatan persaudaraan komunal, seperti 'randai" dalam khazanah teater tradisional Sumatera Barat.Â
Dalam randai diangkat 'kaba' yang mejadi sarana pembentuk memori kolektif dan medium pembentuk proses belajar sosial (social learning process) masyarakat Minangkabau. Melalui wadah 'teater tradisional' beragam seni berkolaborasi, saling melengkapi, dan mendidik masyarakat dengan cara yang penuh adab. Berkat metode tersebut, edukasi di masa lampau menggunakan seni, bukan doktrin dan dogma yang bersifat 'memaksa untuk diterima'--sebagaimana yang kita jumpai dalam pendidikan Era Modern.
Dari berbagai definisi konvensional yang menjadi dasar pendidikan seni dalam kurikulum pendidikan formal; terlihat bahwa teater sekadar seni pertunjukan yang menjadi alternatif hiburan yang bisa digantikan dengan jenis hiburan lain; sehingga teater sangat rentan mengalami kemajuan, kemunduran, timbul-tenggelam, redup-menyala, atau padam. Karena itu, para praktisi seni khususnya teater sudah sebaiknya beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk menjaga eksistensi teater.
Bahwa di masa sekarang--meski dengan berat hati kita akui--teater harus memiliki 'daya jual'. Daya jual bukan berarti menjadikan teater ekslusif yang hanya bisa dinikmati kaum berada, tetapi menjadikan teater mandiri finansial dan memiliki dana untuk terus berkesenian. Hal ini disebabkan teater tidak selalu bisa mengandalkan pemerintah atau donasi dari donatur yang cenderung bersifat tentatif dan terbatas.Â
Sementara itu, dana penyelenggaraan teater akan selalu meningkat seiring dengan peningkatan biaya hidup dari tahun ke tahun. Tanpa adanya upaya untuk membangun kemandirin finansial, teater akan sulit untuk mempertahankan eksistensi di Era Revolusi Industri 4.0.
Oleh karena itu, Bumi Teater sebagai rumah bagi seni multidisiplin di Sumatera Barat khususnya teater, sebaiknya mulai beradaptasi dengan iklim Revolusi Industri 4.0 yang  akrab dengan industri atau upaya meningkatkan teater untuk memiliki nilai ekonomi. Para praktisi seni tidak perlu mengkhawatirkan upaya ini akan menodai kemurnian dedikasi pada seni. Upaya meningkatkan nilai ekonomi teater tersebut terbatas untuk kemandirian finansial dan menjunjung etika bisnis; bukan untuk mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya yang menjadi ciri khas kapitalis yang rakus.
Pada praktiknya, praktisi seni---yang menjaga gawang teater---dapat menghasilkan dua jenis teater berupa: karya komersil dan karya idealis. Praktisi seni bisa menggunakan keahlian teater untuk menghasilkan materi yang bisa dijual dan terus menghasilkan karya sesuai standar ideal teater. Tidak harus sebuah teater yang dijual dalam kemasan digital, melainkan pemanfaatan 'keahlian teater' dalam menciptakan konten digital komersial. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjual konten digital di media sosial khusus seperti instagram dan youtube. Banyak netizen berjualan konten yang dihasilkan dari keahlian teater khususnya seni peran. Mimi Peri merupakan salah satu netizen yang sukses menjual konten digital yang identik dengan salah satu keahlian yang muncul dalam teater.
Selain Mimi Peri, muncul pula sosok Mak Beti dan Mak Gardam. Bahkan, bila dicermati, seni peran yang mereka miliki, sebenarnya masih sangat terbatas dan bermutu rendah. Bahkan, ujaran dan tampilan cenderung bermuatan kekerasan dan pornografi. Tetapi, mereka berhasil mengemas seni peran menjadi produk digital komersil dan memiliki daya jual. Â
Fenomena digital tersebut semestinya menjadi kajian praktisi Bumi Teater. Alangkah sayangnya bila keahlian teater yang mumpuni sulit meneguhkan eksistensi teater atau memberikan kehidupan yang layak bagi praktisi teater. Di sisi lain, orang (netizen) yang memiliki kemampuan terbatas dalam keahlian teater khususnya seni peran, bisa menjual konten digital hasil dari keahlian teater dan mencapai kebebasan finansial. Â