Presiden merupakan jabatan politik dengan sistem pemerintahan yang mendukung kinerja fungsi politik. Keberadaan presiden dan sistem pemerintah adalah untuk memastikan, melindungi hak asasi, dan mengakomodasi kebutuhan warga negara khususnya dalam ruang lingkup politik. Hal ini disebabkan politik  memiliki posisi yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanpa upaya maksimal dalam mengemban amanah di sektor politik, bangsa Indonesia akan sangat mudah untuk dijajah.
Sebelum kemerdekaan Indonesia atau terbentuknya NKRI; leluhur bangsa Indonesia di Nusantara; mengalami masa penjajahan selama berabad-abad. Mulai dari penjajahan bangsa Spanyol, Portugis, Belanda, hingga Jepang. Bangsa-bangsa yang gigih memperjuangkan hak asasi, sulit untuk membantu leluhur kita karena Nusantara belum terjalin dalam sistem politik dunia.
Setelah leluhur bangsa Indonesia bersatu dan 'membentuk sistem politik NKRI' yang terjalin dengan 'sistem politik dunia'; upaya pengakuan kedaulatan Indonesia bisa ditegakkan dan bangsa-bangsa penjajah bisa dihalau dari NKRI. Dengan demikian, tidak ada lagi bangsa Indonesia yang diseret untuk dijadikan budak 'tanam paksa'; tidak ada lagi perempuan Indonesia yang dijadikan gundik atau pelacur para lelaki dari negeri penjajah; dan masih banyak hak-hak asasi yang hanya bisa diakomodasi dengan adanya keberadaan presiden dan sistem pemerintahan yang mengakomodasi hak asasi melalui jalur politik.         Â
Meskipun demikian, presiden beserta sistem pemerintahan tidak membatasi ruang kerja di ranah hubungan internasional tersebut. Presiden beserta pemerintah juga memiliki visi untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dasar-dasar cita-cita kemerdekaan telah termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Beserta Kabinet Kerja, Jokowi telah berupaya untuk merealisasikannya. Bila kita membuka mata, telah banyak kemajuan yang dicapai kabinet kerja yang dipimpin Jokowi.
Sayangnya, kemajuan-kemajuan atau pencapaian-pencapaian tersebut, dikaburkan para Juru Selamat palsu. Para Juru Selamat palsu memutar-balikkan fakta. Masyarakat awam rentan terpengaruh untuk membenci Jokowi, menjadi bagian dari boneka-boneka yang digembalakannya, seperti sebagian masyarakat Sumatera Barat.
Saya sendiri berasal dari Sumatera Barat. Akhir Oktober 2018, saya sempat mengunjungi Sumatera Barat untuk merawat anggota keluarga yang sakit. Di sana, saya menyaksikan sendiri bahwa kebencian terhadap Jokowi bisa disebut massif. Kebencian itu berhembus di warung-warung, pasar-pasar, hingga tempat potong rambut. Mereka menuduh Jokowi sebagai pembohong, tidak bisa fasih membaca surah Alfatihah, dan berbagai caci-maki lainnya.
Kebencian tersebut menyebar ke media sosial. Mereka beramai-ramai menuduh bahwa infrastruktur yang menjadi bagian dari pencapaian pembangunan era Jokowi tidak memiliki manfaat sama-sekali. Namun, ketika jembatan Padang Bukttinggi putus di kawasan Kayu Tanam, Padang Pariaman, para penghujat Jokowi di Sumatera Barat, membisu. Akibatnya, banyak aktivitas berbagai sektor kehidupan yang terancam mati.
Di media sosial, selama jembatan tersebut diperbaiki, para penghujat asal Sumatera Barat tidak beraktivitas. Tanpa tanpa kebijakan yang ditetapkan Jokowi, pemerintah tidak bisa menetapkan regulasi dalam upaya pembangunan jalan Padang-Bukittinggi yang terputus itu. Setelah upaya jembatan tersebut diperbaiki, para panghujat kembali bangkit. Mereka menuduh bahwa Jokowi tidak berbuat apa pun selain meresmikan jalan yang telah dibangun tersebut.
Tentunya, pengalaman saya tersebut, tidak berarti menilai bahwa semua warga Sumatera Barat membenci Jokowi. Masih banyak warga Sumatera Barat yang mengagumi Jokowi dan berharap Jokowi terpilih kembali sebagai presiden periode kedua. Dukungan ini bisa kita lihat dari berbagai grup di media sosial yang dibentuk masyarakat Minang (Sumatera Barat) untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden periode kedua.
Memilih Jokowi