Dua permasalahan mendasar yang menjadi tantangan terbesar untuk mereformasi skema perpajakan konvensional yang pertama barang-barang atau jasa yang diperdagangkan bersifat intangible (tidak memiliki wujud fisik) dan lintas batas negara (borderless), semisal jasa berlangganan film atau lagu serta perdagangan software atau aplikasi.Â
Permasalahan kedua terkait keberadaan fisik perusahaan digital, mengingat mereka tidak perlu membangun kantor cabang atau memindahkan pabrik untuk dapat beroperasi di suatu negara.Â
Dengan permasalahan mendasar itulah membuat skema perpajakan konvensional dirasa menjadi tidak relevan untuk mengimbangi perkembangan bisnis e-commerce, karena regulasi yang ada untuk perpajakan konvensional memberikan kemudahan bagi perusahaan-perusahaan e-commerce untuk menghindari regulasi perpajakan dan memindahkan profit ke negara-negara suaka pajak (tax havens).
Jika kita menengok dari beberapa peraturan perpajakan e-commerce di Berbagai Negara lain seperti Uni Eropa, Korea Selatan dan Australia. Negara-negara tersebut termasuk negara yang tegas dalam penerapan peraturan perpajakannya dalam bidang e-commerce. Berikut tabel sistem pemajakan dari ketiga negara tersebut :
Dengan skema perpajakan diatas Perusahaan e-commerce yang berasal dari Uni Eropa maupun dari luar Uni Eropa tidak hanya bertanggung jawab untuk menarik pajak, tetapi juga mengumpulkan, melaporkan dan menyerahkan VAT kepada Pemerintah Negara konsumen berada. Negara kedua yang memiliki regulasi yang baik dalam bidang e-commerce adalah Australia, yang biasa kita sebut VAT jika di Australia mereka mengenalnya dengan Good and Service Tax atau GST.Â
Dari skema perpajakan diatas Australia mengenakan pajak sebesar 10% dari total perdagangan e-commerce dengan ambang batas bawah transaksi sebesar AUD 10 ribu, serta Australia juga mewajibkan perusahaan-perusahaan e-commerce dengan nilai pendapatan diatas AUD 75 ribu per tahun meregistrasikan ke Otoritas Pajak Australia dan wajib untuk menarik pajak ke para konsumen sesuai regulasi yang berlaku di Australia.Â
Yang terakhir yaitu Korea Selatan, di Korsel besaran pajak yang dikenakan atas nilai transaksi pada dasarnya sama yaito 10% tetapi Korsel tidak memberlakukan ambang batas seperti Australia, setiap perusahaan berapapun nilai transaksi mereka wajib untuk meregistrasikan ke otoritas pajak negara.Â
Korsel sangat konsen dalam penerimaan pajak dari aspek bisnis e-commerce, regulasi pajak mereka dengan gamblang menyebutkan apabila perusahaan tidak memiliki perwakilan bisnis dalam bentuk barang bersifat intangible di KorselÂ
maka perusahaan tersebut tetap dianggap berada di Korsel sehingga wajib mengikuti regulasi pajak VAT dinegara mereka.
Melihat dari ketiga skema pemajakan bisnis e-commerce diatas, dapat kita simpulkan bahwa tegasnya pemajakan yang dilakukan oleh negara-negara tersebut sebagai gambaran upaya serius pemerintah dalam mengamankan penerimaan negara yang saat ini menjadi isu global dalam hal penerntuan peraturan pemajakan bisnis e-commerce.