Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana mereka takjub ketika mengetahui betapa mudahnya membuat pestisida nabati untuk membasmi ulat. Atau bagaimana ular bisa menjadi predator untuk tikus yang seringkali menjadi hama di kebun mereka, sehingga keberadaan ular di kebun sawit tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan.
Enam tahun berlalu, dan  saya pun berpikir.... memang benar, bukan tanamannya yang harus dipersalahkan. Tapi cara manusia mengelolanya yang harus dibenahi.Â
Bukan dengan melarang, tapi dengan mengatur sebaik-baiknya agar tidak ada pihak yang dirugikan. Berbagai insiden tidak mengenakkan, tindakan tercela, kecelakaan, perusakan, konflik tanah adat, atau tindakan melanggar HAM yang terjadi juga bukan dilakukan oleh tanaman sawit ini, bukan? Tapi lagi-lagi pelakunya adalah manusia. Jika ingin menghujat, hujatlah pelakunya. Manusianya.
Saya memang bukan seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang pertanian. Staff lapangan Solidaridad banyak yang jauh lebih mumpuni jika kita bicara soal kapasitas di bidang pengetahuan tentang teknologi pertanian. Saya hanya seseorang yang berkesempatan untuk melihat dan mendengar sisi lain dari tanaman komoditi yang begitu dibenci oleh banyak orang ini.Â
Mungkin informasi yang saya dapatkan pun tidak sepenuhnya akurat, karena saya hanya membagi beberapa kisah lapangan yang saya dengar dari para petani. Tetapi saya adalah manusia yang menyaksikan sendiri bagaimana ada sosok-sosok yang hidup dan memiliki harapan di balik satu tanaman yang banyak dihujat ini.Â
Dan sejatinya bagi mereka yang merasa bahwa sawit adalah tanaman jahat, punya solusi nyata seperti apakah Anda untuk para petani mandiri kelapa sawit agar hidup mereka bisa berlanjut tanpa harus menanggung tudingan membudidayakan tanaman jahat?Â
Adakalanya kita memang harus sepakat untuk tidak sepaham....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H