Penganiayaan terhadap hewan adalah hal lain yang memang memerlukan perhatian khusus, terutama jika hewannya merupakan hewan langka. Namun banyak petani tidak memahami kriteria hewan langka ini. Bagi mereka, kebanyakan hewan yang mengganggu di kebun adalah hama. Dan hama harus dibasmi.Â
Setelah berbincang lebih jauh lagi, saya pun mendapati bahwa kebanyakan kejadian penganiayaan hewan langka tidak dilakukan oleh petani mandiri. Oknum pelaku biasanya bukan penduduk asli, juga bukan warga pendatang atau transmigran yang sudah menetap di daerah tersebut.
Solidaridad menyadari bahwa ada banyak dilema yang membungkus komoditi yang satu ini. Sawit berada dalam "love-hate situation". Dibenci, namun dibutuhkan. Dicaci, tapi dicari.Â
Ketika Uni Eropa memberlakukan larangan masuk untuk produk sawit yang dinilai tidak etis atau tidak memenuhi standar kriteria keberlanjutan dan kelestarian, banyak yang menjerit. Lembaga tempat saya bekerja berpusat di Belanda, dan dari berbagai diskusi yang dilakukan, saya mendapati bahwa bukan tanaman sawitnya yang dipermasalahkan, tapi budidayanya yang tidak tepatlah yang menjadi sandungan. Lalu kenapa di sini sepertinya orang membenci tanamannya? Entah....Â
Sawit selalu dikaitkan dengan korporasi besar yang memiliki lahan terhampar dengan luas berhektar-hektar, dan dianggap serakah serta kapitalis tanpa mau peduli pada sekitarnya. Mungkin karena awal mula terbentuknya perkebunan sawit ini dulu memang diinisiasi oleh korporasi. Perkebunan sawit rakyat memang baru muncul belakangan. Jadi ada sedikit ketelanjuran pada persepi yang terbentuk di kalangan masyarakat kita.
Realitanya, ada cukup banyak lahan sawit rakyat yang menjadi sumber mata pencaharian pemiliknya. Saya tidak pro-korporasi besar yang mengeksploitasi lahan dan melakukan praktik-praktik tercela dalam proses produksinya, seperti mempekerjakan anak di bawah umur, tidak melakukan pengelolaan limbah dengan baik, memberikan upah yang rendah, serta melakukan penganiayaan terhadap hewan langka di habitatnya, atau melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya.Â
Namun saya juga harus realistis, apalagi setelah bertemu dengan cukup banyak keluarga petani sawit mandiri yang menggantungkan hidupnya pada tanaman komoditi yang satu ini. Pernah saya bertanya pada salah satu dari mereka, mengapa harus memilih tanaman kelapa sawit?Â
"Tanah di sini tidak cocok untuk tanaman lain, kak... Hasilnya tidak optimal. Tingkat keasamannya terlalu tinggi untuk ditanami tanaman pangan lainnya. Sudah banyak yang coba, tapi yang mampu bertahan dengan jenis tanah dan cuaca di sini, ya hanya pohon sawit. Pohon kayu, bisa. Tapi lama panennya." begitu jawaban yang saya terima. Beberapa wilayah memang bisa ditanami dengan buah-buahan, sayuran, bahkan padi. Tapi sebagian besar tidak cocok. Belum lagi lahan gambut juga mendominasi sehingga tidak bisa ditanami, area tanam pun semakin sempit.Â
Para petani ini hanya bersikap pragmatis saja, yang utama adalah mereka bisa menghidupi keluarga mereka. Tak ada niat merusak alam dan lingkungan sekitarnya. Apa yang terjadi, semuanya rata-rata murni karena ketidaktahuan mereka.Â
Melihat realita di lapangan seperti itu, Solidaridad masuk untuk melakukan intervensi dengan membuka Sekolah Lapang bagi para petani kelapa sawit mandiri. Mereka ini adalah petani yang harus bersaing ketat dengan korporasi sawit raksasa yang ada di sekitar mereka.Â
Para petani plasma mungkin tidak perlu khawatir soal penjualan hasil panen, karena pihak perusahaan yang menyewa lahan mereka sudah pasti akan mengambil hasil panen mereka. Berapapun hasil panennya. Tapi petani mandiri masih harus berjibaku dengan berbagai tantangan lain seperti pengangkutan, permainan harga jual, dan dominasi tengkulak yang memonopoli akses pasar.Â