Mohon tunggu...
Suksma Ratri
Suksma Ratri Mohon Tunggu... Lainnya - Senior Communication Officer and Gender Focal Point - Solidaridad Network Indonesia

Solidaridad Indonesia adalah sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri untuk pemberdayaan petani mandiri dan adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Sawit Baik" Versus "Sawit Jahat"

12 Oktober 2021   23:41 Diperbarui: 14 Oktober 2021   09:06 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melkianus Daikate, bersama kelas Sekolah Lapang yang difasilitasinya di Ketungau Hilir, Kalimantan Barat/Dokpri

Sawit berada dalam "love-hate situation". Dibenci, namun dibutuhkan.

Saya ingat beberapa tahun yang lalu sebuah partai menggaungkan tagar 'sawit baik' untuk membela beberapa pengusaha sawit yang dinilai cukup humanis, dan sebagai counter attack untuk kebijakan anti sawit. Saya dan beberapa kawan akhirnya berpikir, jika ada "sawit baik" apakah ini tandanya ada "sawit jahat" juga? Ternyata iya. Ada. 

Karena ada cukup banyak orang yang mengatakan bahwa kelapa sawit adalah "tanaman jahat". Tapi yang jelas, sebagai seseorang yang bekerja di lembaga non-pemerintah yang menjalankan program pemberdayaan petani mandiri, termasuk untuk petani sawit, saya sendiri sering merasa jengah dengan segala sesuatu terkait sawit yang selalu dianggap buruk. 

Tidak semua hal harus bersifat hitam-putih, dan baik-jahat. Sesuatu yang dianggap jahat atau buruk seringkali hanya karena kita tidak tahu cara menanganinya dengan tepat. Atau mungkin karena dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Ketika menerima kabar bahwa saya diterima untuk bekerja di Solidaridad Indonesia tahun 2015 silam, saya sempat sedikit ragu karena ternyata lembaga nirlaba yang menangani pemberdayaan petani mandiri ini memasukkan petani kelapa sawit sebagai penerima manfaat dan target kerjanya.

Berkawan dengan cukup banyak aktivis lingkungan hidup dan pelestarian alam, saya sempat menjadi bulan-bulanan mereka, dan digoda terus menerus karena menerima tawaran kerja di lembaga yang mereka anggap pro-sawit. Sampai ketika akhirnya saya berkunjung ke lapangan di Kalimantan Barat, dan berbincang dengan para petani mandiri yang menjadi dampingan Solidaridad, saya menemukan berbagai hal yang selama ini tidak saya ketahui dengan pasti tentang dunia persawitan ini. 

Di balik tanaman yang dicaci maki dan dihina secara terus menerus ini, ada manusia-manusia yang kehidupan dan penghidupannya sangat tergantung pada keberadaan tanaman ini. Ada perempuan-perempuan yang menggantung harapannya dari hasil penjualan sawit. Ada anak-anak yang kelanjutan sekolah dan pendidikannya juga tergantung pada berhasil atau tidaknya tandan buah sawit di kebun orang tua mereka terjual. 

Jika kita bicara soal perusakan lingkungan, kebakaran hutan, dan penganiayaan hewan yang seringkali terkait erat dengan keberadaan kebun sawit, memang sebagian besar benar adanya. Namun jika kita mau menggali lebih dalam lagi hingga ke akar masalahnya, kita akan bisa mengetahui banyak faktor yang menjadi penyebab.

Rata-rata petani sawit mandiri yang saya temui mendapatkan ilmu bercocok tanam sawitnya secara otodidak. Artinya, tak ada teori yang pasti tentang kalkulasi yang tepat untuk pemupukan, tidak ada yang mengetahui dengan jelas bagaimana bertanam sawit secara ideal. Penggunaan pupuk kimia yang tinggi dengan dosis yang berlebihan, sudah tentu akan mengakibatkan kerusakan pada tanah. Ini adalah sebuah keniscayaan. 

Ketidaktahuan mereka bahwa akar tanaman sawit akan menyerap sangat banyak air tanah, juga membuat para petani ini tidak memperhitungkan jarak tanam yang tepat, baik antar tanaman maupun jarak dengan rumah tinggal atau sumber air lainnya. Kebiasaan membuka lahan dengan teknik tebas-bakar (slash and burn) juga merupakan metode yang dipelajari berdasarkan kebiasaan lama. Tak hanya petani sawit, petani dan peladang tanaman lain pun banyak yang melakukan hal ini karena kebiasaan tanam berpindah yang dilakukan sejak lama oleh keluarga mereka. 

Penganiayaan terhadap hewan adalah hal lain yang memang memerlukan perhatian khusus, terutama jika hewannya merupakan hewan langka. Namun banyak petani tidak memahami kriteria hewan langka ini. Bagi mereka, kebanyakan hewan yang mengganggu di kebun adalah hama. Dan hama harus dibasmi. 

Setelah berbincang lebih jauh lagi, saya pun mendapati bahwa kebanyakan kejadian penganiayaan hewan langka tidak dilakukan oleh petani mandiri. Oknum pelaku biasanya bukan penduduk asli, juga bukan warga pendatang atau transmigran yang sudah menetap di daerah tersebut.

Solidaridad menyadari bahwa ada banyak dilema yang membungkus komoditi yang satu ini. Sawit berada dalam "love-hate situation". Dibenci, namun dibutuhkan. Dicaci, tapi dicari. 

Ketika Uni Eropa memberlakukan larangan masuk untuk produk sawit yang dinilai tidak etis atau tidak memenuhi standar kriteria keberlanjutan dan kelestarian, banyak yang menjerit. Lembaga tempat saya bekerja berpusat di Belanda, dan dari berbagai diskusi yang dilakukan, saya mendapati bahwa bukan tanaman sawitnya yang dipermasalahkan, tapi budidayanya yang tidak tepatlah yang menjadi sandungan. Lalu kenapa di sini sepertinya orang membenci tanamannya? Entah.... 

Sawit selalu dikaitkan dengan korporasi besar yang memiliki lahan terhampar dengan luas berhektar-hektar, dan dianggap serakah serta kapitalis tanpa mau peduli pada sekitarnya. Mungkin karena awal mula terbentuknya perkebunan sawit ini dulu memang diinisiasi oleh korporasi. Perkebunan sawit rakyat memang baru muncul belakangan. Jadi ada sedikit ketelanjuran pada persepi yang terbentuk di kalangan masyarakat kita.

Realitanya, ada cukup banyak lahan sawit rakyat yang menjadi sumber mata pencaharian pemiliknya. Saya tidak pro-korporasi besar yang mengeksploitasi lahan dan melakukan praktik-praktik tercela dalam proses produksinya, seperti mempekerjakan anak di bawah umur, tidak melakukan pengelolaan limbah dengan baik, memberikan upah yang rendah, serta melakukan penganiayaan terhadap hewan langka di habitatnya, atau melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya. 

Namun saya juga harus realistis, apalagi setelah bertemu dengan cukup banyak keluarga petani sawit mandiri yang menggantungkan hidupnya pada tanaman komoditi yang satu ini. Pernah saya bertanya pada salah satu dari mereka, mengapa harus memilih tanaman kelapa sawit? 

"Tanah di sini tidak cocok untuk tanaman lain, kak... Hasilnya tidak optimal. Tingkat keasamannya terlalu tinggi untuk ditanami tanaman pangan lainnya. Sudah banyak yang coba, tapi yang mampu bertahan dengan jenis tanah dan cuaca di sini, ya hanya pohon sawit. Pohon kayu, bisa. Tapi lama panennya." begitu jawaban yang saya terima. Beberapa wilayah memang bisa ditanami dengan buah-buahan, sayuran, bahkan padi. Tapi sebagian besar tidak cocok. Belum lagi lahan gambut juga mendominasi sehingga tidak bisa ditanami, area tanam pun semakin sempit. 

Para petani ini hanya bersikap pragmatis saja, yang utama adalah mereka bisa menghidupi keluarga mereka. Tak ada niat merusak alam dan lingkungan sekitarnya. Apa yang terjadi, semuanya rata-rata murni karena ketidaktahuan mereka. 

Melihat realita di lapangan seperti itu, Solidaridad masuk untuk melakukan intervensi dengan membuka Sekolah Lapang bagi para petani kelapa sawit mandiri. Mereka ini adalah petani yang harus bersaing ketat dengan korporasi sawit raksasa yang ada di sekitar mereka. 

Para petani plasma mungkin tidak perlu khawatir soal penjualan hasil panen, karena pihak perusahaan yang menyewa lahan mereka sudah pasti akan mengambil hasil panen mereka. Berapapun hasil panennya. Tapi petani mandiri masih harus berjibaku dengan berbagai tantangan lain seperti pengangkutan, permainan harga jual, dan dominasi tengkulak yang memonopoli akses pasar. 

Meskipun pabrik-pabrik besar masih memerlukan tambahan tandan buah dalam jumlah besar untuk memenuhi kapasitas maksimal produksi mereka yang tidak bisa tertutupi dari hasil kebun inti dan plasma saja, petani sawit mandiri tidak memiliki akses langsung untuk menjual hasil panen mereka ke pabrik secara perorangan. 

Hal ini disebabkan karena pihak pabrik memiliki syarat bahwa penjualan hanya bisa dilakukan melalui pihak-pihak yang sudah memiliki kesepakatan kerjasama dengan mereka. 

Pihak-pihak ini adalah para tengkulak yang bernaung di bawah CV atau PT. Para perantara inilah yang bertugas untuk mencari tambahan tandan buah segar guna memenuhi kebutuhan produksi pabrik. Tandan-tandan tambahan ini biasanya didapatkan dari para petani mandiri. Akses penjualan yang mereka miliki menjadi senjata utama untuk mempermainkan harga terhadap para petani mandiri. 

Salah seorang petani yang saya temui mengatakan bahwa dia dan banyak petani lain di desanya terpaksa setuju dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak karena tidak ada pilihan lain, "Daripada buah yang sudah dipanen dibiarkan berhari-hari di tepi jalan sampai membusuk, kak.... Lebih baik kami jual saja sebisanya." 

Biasanya memang pihak tengkulak ini akan mengurus pengangkutan tandan-tandan buah milik para petani ini. Jadi, petani tak perlu menyewa truk untuk mengantar tandan buah mereka ke pabrik. 

"Kami tidak punya truk pengangkut juga, jadi agak sulit untuk urusan transportasi. Bukan hanya soal tidak bisa masuk langsung ke pabrik, tapi mengangkut dari tepi kebun ke pabrik pun kami kesulitan. Sewa truk angkut cukup tinggi. Jadi harga dari tengkulak itu sudah dipotong biaya transportasi lah istilahnya." Padahal setiap sore, sekira pk. 17.30 WIB, pemerintah selalu mengumumkan harga standar sawit, sebab beberapa tahun yang lalu saya sempat bertugas untuk memantau dan mencatat harga standar sawit harian dari pemerintah untuk sebuah majalah agrobisnis. Tapi cukup banyak petani yang tidak tahu berapa harga harian yang ditentukan oleh pemerintah. Dan jika pun mereka tahu, alasan potongan biaya transportasi itu selalu jadi alasan jitu yang membuat mereka tak berkutik.  

Apa yang dilakukan oleh staff lapangan Solidaridad adalah membagi pengetahuan tentang praktik pertanian sawit yang tepat dan berorientasi pada lingkungan. Karena jika melihat realitanya di lapangan , para petani ini bukan tidak paham sama sekali tentang budidaya dan perawatan tanaman kelapa sawit, mereka hanya belum mendapatkan pengetahuan yang tepat saja. Penekanan pada metode tanam ideal, cara pemupukan yang tepat, dosis dan penggunaan jenis pupuk yang sesuai, serta memberikan alternatif pembuatan pupuk organik agar bisa memangkas biaya serta mengurangi kerusakan pada lingkungan, terus dilakukan. 

Para petani mandiri yang mengikuti kegiatan Sekolah Lapang pun menyadari bahwa selama ini mereka ternyata terlambat mendapatkan pengetahuan tentang budidaya tanaman kelapa sawit yang tepat. Tak heran jika hasilnya kurang optimal dan kurang bisa bersaing dengan para petani plasma.

Bupati Sintang pernah mengatakan kepada kami, di kabupatennya tidak ada lagi yang boleh membuka lahan baru untuk dijadikan perkebunan sawit. 

Tidak diberi izin oleh beliau, karena luasan lahan sawit yang ada sudah melewati batas yang semula ditetapkan. Dalam rencana awalnya di tahun delapanpuluhan, Kalimantan Barat hanya akan memiliki 1.5 juta hektar saja, namun pada kenyataannya sekarang sudah mencapai 4-5 juta hektar. Semua kebun sawit harus memanfaatkan lahan-lahan yang sudah ada dan tidak dipakai lagi, seperti lahan milik perusahaan pengolahan kayu. Ketika pohon-pohon kayu sudah habis ditebang selama beberapa tahun, lahan-lahan itu tidak digunakan lagi. 

Maka pemerintah kabupaten mengizinkan para petani mandiri menggunakan lahan-lahan tersebut untuk ditanami kelapa sawit. Selain itu juga ada lahan-lahan eks PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan tanam kelapa sawit. Praktik tebas-bakar pun dilarang, dan tanah bekas lahan sawit yang sudah selesai "masa tugasnya" harus diistirahatkan dan dirawat terlebih dahulu selama lima tahun agar unsur-unsur mineral penting dalam tanahnya kembali lagi.

Seseorang pernah berkata kepada saya, "Tidak ada istilah ramah lingkungan untuk sawit! Sawit itu tanaman kapitalis yang bisanya hanya merusak! Jahat sekali tanaman yang satu itu memang". Betulkah? Jika bicara soal label "tanaman kapitalis" bukankah semua jenis tanaman (bahkan benda apa pun) yang bisa diperjualbelikan adalah komoditi kapitalisme? Saya kemudian balik bertanya, "Menurutmu, apa solusinya untuk para petani sawit jika tanaman sawit ini dilarang?" katanya, "Ambil saja tanaman lain. Masih banyak tanaman yang lebih bermanfaat di bumi ini ketimbang sawit." saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan celotehnya. Bukan apa-apa, sebab orang itu tidak berasal dari pulau yang tanahnya memiliki keasaman tinggi sehingga tidak banyak tanaman pangan yang bisa bertahan. 

Betapa naifnya jika kita berpikir bahwa tanaman kelapa sawit hanya dibudidayakan oleh korporasi besar saja. Dan para petani sawit mandiri pun bukannya tidak punya tanaman komoditi lain. 

Rata-rata mereka juga punya kebun karet atau lada, tapi hasilnya tidak sepadan dengan hasil kebun sawit mereka. Harga karet mentah sangat fluktuatif, dan seringkali juga sangat rendah. 

Untungnya, karet yang sudah ditoreh bisa disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama, "Karet itu untuk persediaan di masa darurat, kak. Kalau sawit belum menghasilkan, atau gagal panen, kami jual lah sedikit karet simpanan kami itu sekedar untuk makan sehari-hari." Karet adalah "rainy days fund" mereka. Tabungan. Komoditi taktis.

Di banyak negara, orang mulai beralih mengonsumsi minyak berbahan dasar selain sawit. Namun hal ini juga memiliki tantangan tersendiri karena biasanya harganya jauh lebih mahal. Tidak usah masuk ke ranah kesehatan dulu, kita bicara soal ketersediaan dan daya beli warga Indonesia saja dulu untuk minyak konsumsi selain sawit. 

Apakah memungkinkan? Jika satu liter minyak goreng berbahan dasar sawit bisa dijual oleh merek ternama seharga 15,000 maka untuk minyak jagung harga per liternya bisa mencapai kisaran 54,000. Saya sendiri biasa membeli minyak goreng berbahan dasar biji bunga matahari seharga 27,500 untuk ukuran 500ml. 

Akhirnya saya harus memperlakukan minyak biji bunga matahari ini secara istimewa, sebagaimana saya memperlakukan minyak zaitun.  Idealnya tentu berbagai minyak konsumsi dengan bahan dasar yang variatif tersedia di pasaran dengan harga yang terjangkau. Tapi untuk saat ini sepertinya memang masih belum memungkinkan. Saya melihat banyak orang mulai mengarah ke gaya hidup sehat yang mengedepankan unsur kelestarian dan keberlanjutan. Namun prosesnya tidak bisa instan. Ada masa transisi yang harus dilalui dengan berbagai persiapan. 

Transisi yang humanis harus diperhitungkan. Jangan sampai kita bertransformasi ke arah gaya hidup ramah lingkungan namun sebenarnya secara tidak langsung juga menyengsarakan banyak orang di luar sana. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana transformasi gaya hidup ini tidak harus mematikan periuk nasi orang lain, dalam hal ini, petani sawit mandiri. Tak perlu juga ada sebutan "sawit baik" dan "sawit jahat" karena ini bukan kisah "Bawang Merah dan Bawang Putih", tapi alangkah lebih baik jika kita mengutamakan para petani.

Ketika orang berteriak soal bagaimana jahat dan merusaknya tanaman kelapa sawit ini, yang seketika terlintas di rongga kepala saya adalah para petani mandiri beserta keluarganya yang menggantungkan hidupnya dari tanaman ini. Bukan sederet nama-nama korporasi besar yang tamak dan egois. 

Terbayang bagaimana anak-anak usia sekolah di pelosok Kalimantan Barat yang saya temui harus berjalan kaki berkilo-kilo meter agar bisa tetap sekolah. Sekolah yang segala kelengkapan dan keperluannya dibayar oleh orang tuanya dari hasil bertanam sawit di lahan mereka sendiri. Bukan lahan sewaan pabrik besar. 

Ada sekelompok orang yang dengan tekun mengikuti kegiatan Sekolah Lapang yang kami buka untuk belajar bagaimana bercocok tanam sawit yang lebih baik dan akhirnya nanti bisa memberikan hasil panen yang optimal. Terbayang wajah-wajah penuh harapan yang semringah ketika belajar membuat pupuk organik sendiri yang berbiaya rendah dan bahannya ternyata banyak mereka temui di sekitar tempat tinggal mereka. 

Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana mereka takjub ketika mengetahui betapa mudahnya membuat pestisida nabati untuk membasmi ulat. Atau bagaimana ular bisa menjadi predator untuk tikus yang seringkali menjadi hama di kebun mereka, sehingga keberadaan ular di kebun sawit tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan.

Enam tahun berlalu, dan  saya pun berpikir.... memang benar, bukan tanamannya yang harus dipersalahkan. Tapi cara manusia mengelolanya yang harus dibenahi. 

Bukan dengan melarang, tapi dengan mengatur sebaik-baiknya agar tidak ada pihak yang dirugikan. Berbagai insiden tidak mengenakkan, tindakan tercela, kecelakaan, perusakan, konflik tanah adat, atau tindakan melanggar HAM yang terjadi juga bukan dilakukan oleh tanaman sawit ini, bukan? Tapi lagi-lagi pelakunya adalah manusia. Jika ingin menghujat, hujatlah pelakunya. Manusianya.

Saya memang bukan seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang pertanian. Staff lapangan Solidaridad banyak yang jauh lebih mumpuni jika kita bicara soal kapasitas di bidang pengetahuan tentang teknologi pertanian. Saya hanya seseorang yang berkesempatan untuk melihat dan mendengar sisi lain dari tanaman komoditi yang begitu dibenci oleh banyak orang ini. 

Mungkin informasi yang saya dapatkan pun tidak sepenuhnya akurat, karena saya hanya membagi beberapa kisah lapangan yang saya dengar dari para petani. Tetapi saya adalah manusia yang menyaksikan sendiri bagaimana ada sosok-sosok yang hidup dan memiliki harapan di balik satu tanaman yang banyak dihujat ini. 

Dan sejatinya bagi mereka yang merasa bahwa sawit adalah tanaman jahat, punya solusi nyata seperti apakah Anda untuk para petani mandiri kelapa sawit agar hidup mereka bisa berlanjut tanpa harus menanggung tudingan membudidayakan tanaman jahat? 

Adakalanya kita memang harus sepakat untuk tidak sepaham....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun