"Apa tidak ada orang lain yang bisa kamu ajak bicara?" tanya Herman dalan pikirannya.
"Hey, jangan salahkan aku tentang ini. Kamu sendiri yang memiliki kemampuan itu kan? Jadi terima saja nasibmu itu. Baiklah..." si mata hitam kelam itu mengalihkan pandangannya ke kasir pria yang tadi melayani Herman.Â
"Apa yang kamu lihat dari orang itu, Herman?" tanya si mata hitam kelam itu.Â
Herman menatap kasir pria, tubuhnya bertumpu pada belulang sedikit daging, wajahnya bersih dengan mata terlihat perih, dia berkepala langit, berhati hutan yang rimbun. Ada banyak orang yang telah dilihat Herman, namun tidak semua orang adalah manusia.
"Hidup ini hanyalah berisi akibat, kamu pernah mengatakan hal itu. Kata-kata itu kamu dapat dari seorang penulis kan? Aku pikir itu benar, Herman," ucap si mata hitam tanpa melepaskan pandangan dari kasir yang sedang melayani pelanggan minimarket.Â
Herman menatap si mata hitam yang tetap berada di depannya. Sosok astral yang ditatapnya membalas menatap.
"Kamu beruntung Herman karena dapat melihatku. Di dunia yang semakin tidak jelas ini, yang gaib akan ditelan zaman."
Herman menelaah perkataan sosok astral di depannya.
Di masa yang serba canggih ini, manusia melupakan sosok gaib. Manusia terbagi-bagi. Sebagian melupakan yang gaib, sebagian meragukan yang gaib, sisanya mempercayai yang gaib namun tak dapat menemukannya.
Herman mendengar suara hembus nafas yang berkurang. Kepalanya menunduk menatap gelas kopi hitamnya yang telah dingin.Â
Si kasir keluar berjalan keluar minimarket, menatap mobil box yang baru datang membawa barang suplai dari distributor besar.