Mohon tunggu...
Sukmasih
Sukmasih Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Menulis berbagai hal dari sudut pandang kajian ilmu komunikasi. Belajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daun Terakhir

22 Agustus 2020   08:03 Diperbarui: 22 Agustus 2020   07:55 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jum'at pagi orang-orang mulai memejamkan mata di dalam bis yang melaju, ada yang khusuk dengan ponselnya, sebagian hanya memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Kondektur berjalan dari bagian belakang bis meminta lembaran-lembaran kertas kepada para penumpang. 

Pengamen jalanan  menyanyikan tembang galau menggambarkan kehidupannya di jalanan. Di antara orang-orang itu, seorang pria yang memandang hamparan sawah yang baru saja di panen. 

Pikirannya entah berkeliaran ke mana. Tas ransel tampak ringan bertengger di punggungnya. 

Sampai di depan sebuah gedung, manusia-manusia yang disebut mahasiswa dan dosen pun turun dari bis, dia pun turut turun dari bis yang telah mengantarnya. 

Ia berjalan menuju sebuah minimarket dan mengambil sebuah kursi yang disediakan untuk pengunjung. Tak lama, pria muda itu memandang mesin kopi kemudian bangun dari duduknya dan mendekati mesin kopi tersebut. 

Ia menyeduh kopi pada gelas karton yang disediakan, saat berbalik badan hendak membayar seseorang bermata hitam kelam menatapnya. Nafas pria muda itu tercekat melihat sosok dihadapannya. 

"Bernafas-lah," perintah sosok bermata hitam kelam itu. 

Secepat kilat sosok bermata hitam itu menghilang, si pria muda berjalan menuju kasir dan membayar kopinya, "Kang Herman baru terlihat lagi, kemana aja, Kang?" tanya petugas kasir dengan senyum. 

Pria muda yang disapa Kang Herman itu memandang petugas kasir yang biasa melayani setiap kali ia mampir ke minimarket tersebut, "kemarin-kemarin saya libur, Kang," jawab Herman. 

"Ohhh..." 

Herman tersenyum dan kembali duduk di kursi yang sempat ia tinggalkan. Ia memandang ke dalam gelas karton yang berisi kopi hitam. Hitamnya kopi mengingatkan Herman pada sosok bermata gelap kelam yang baru ia jumpai tadi. Herman meminum seteguk dari gelas itu, memandang kasir yang tadi melayaninya. 

"Dia masih muda, kan?" 

Pertanyaan itu membuat Herman memalingkan pandangannya dari si kasir dan menatap lurus. Si mata hitam itu lagi-lagi ada dihadapannya. 

"Halo Herman, bagaimana kabarmu?" 

Herman terdiam, tak ada jawaban yang terpikirkan untuk menjawab pertanyaan dari sosok dihadapannya. 

"Meskipun jumlah nafasmu terus berkurang, setidaknya nafas itu akan terus ada dalam waktu lama. Senang dapat melihatmu baik-baik saja, kamu benar-benar membuatku rindu," 

"Bagaimana makhluk sepertimu merasakan rindu?" tanya Herman, namun pertanyaan tersebut tidak sampai terucap dan hanya bertengger dalam pikiran. 

"Jangan salah sangka, Herman. Bertugas di dunia manusia ini membuat aku belajar tentang perasaan. Setiap hari ketika aku naik ke atas (telunjuk sosok bermata kelam itu menunjuk ke atas) aku harus dengan terpaksa melepaskan perasaan emosi manusia dan harus tega melihat dedaunan usia berjatuhan. Aku harus tega, meskipun itu daun terakhir yang akan jatuh." 

Herman hanya terdiam memandang kelamnya mata sosok dihadapannya. 

"Kenapa kamu jadi pendiam begini? Benar-benar tidak mengasyikkan," keluh si mata hitam itu. 

Herman tetap diam tak berminat bicara. 

"Ah! Iya, aku baru ingat, kamu memang pendiam. Baiklah, seperti biasa aku akan bicara sementara kamu hanya akan bicara jika merasa tidak terima atas ucapanku."

"Apa tidak ada orang lain yang bisa kamu ajak bicara?" tanya Herman dalan pikirannya.

"Hey, jangan salahkan aku tentang ini. Kamu sendiri yang memiliki kemampuan itu kan? Jadi terima saja nasibmu itu. Baiklah..." si mata hitam kelam itu mengalihkan pandangannya ke kasir pria yang tadi melayani Herman. 

"Apa yang kamu lihat dari orang itu, Herman?" tanya si mata hitam kelam itu. 

Herman menatap kasir pria, tubuhnya bertumpu pada belulang sedikit daging, wajahnya bersih dengan mata terlihat perih, dia berkepala langit, berhati hutan yang rimbun. Ada banyak orang yang telah dilihat Herman, namun tidak semua orang adalah manusia.

"Hidup ini hanyalah berisi akibat, kamu pernah mengatakan hal itu. Kata-kata itu kamu dapat dari seorang penulis kan? Aku pikir itu benar, Herman," ucap si mata hitam tanpa melepaskan pandangan dari kasir yang sedang melayani pelanggan minimarket. 

Herman menatap si mata hitam yang tetap berada di depannya. Sosok astral yang ditatapnya membalas menatap.

"Kamu beruntung Herman karena dapat melihatku. Di dunia yang semakin tidak jelas ini, yang gaib akan ditelan zaman."

Herman menelaah perkataan sosok astral di depannya.

Di masa yang serba canggih ini, manusia melupakan sosok gaib. Manusia terbagi-bagi. Sebagian melupakan yang gaib, sebagian meragukan yang gaib, sisanya mempercayai yang gaib namun tak dapat menemukannya.

Herman mendengar suara hembus nafas yang berkurang. Kepalanya menunduk menatap gelas kopi hitamnya yang telah dingin. 

Si kasir keluar berjalan keluar minimarket, menatap mobil box yang baru datang membawa barang suplai dari distributor besar.

Herman khusyuk dengan gelas kopinya. Si mata hitam bangun dan melangkah menjauh dari Herman. Sekali lagi, Herman mendengar hembus nafas yang berkurang.

Si mata hitam pernah berkata bahwa manusia berada dikesempurnaan karena Tuhan sangat dekat dengan manusia. Tak peduli manusia itu suci atau berdosa, katanya Tuhan selalu berada di dekat manusia. Di setiap aliran darah manusia, di setiap tegaknya tulang belakang, di setiap sendi, di setiap nadi, di setiap nafas, di sanalah Tuhan berada.

Betapa tidak tahu dirinya manusia, sehingga mereka di sebut orang-orang, sebab mereka bukan murni manusia lagi, mereka terikat keakuan, hingga Tuhan tertutup oleh aku.

Daun kering baru jatuh dari pohon yang hampir mati, tertinggal tiga helai yang menanti berjatuhan lagi. Si kasir menatap secarik kertas daftar barang yang akan masuk ke minimarket. 

Si mata hitam melangkah menuju pintu keluar minimarket. Dan Herman masih khusyuk dengan kopi dinginnya.

Keakuan para manusia, membuat mereka menjadi orang-orang tak tahu diri. Namun tetap saja Tuhan berada di dekat manusia, bukan di dekat malaikat.

Sekali lagi, Herman mendengar nafas yang berkurang, daun kering yang tersentuh angin terjatuh ke bawah dan tersisa dua daun. Si mata hitam telah berada di luar minimarket, si kasir mengawasi kuli panggul yang menurunkan barang, sesekali belulang tangannya membantu si kuli panggul. Dan daun kering kembali jatuh dan tersisa satu.

Herman memejamkan matanya dan daun terakhir jatuh. Jeritan mengiringi, luka menganga, namun sakit tak dapat dikatakan, daun terakhir telah jatuh digugat angin, nafas si kasir telah habis, dan si mata hitam telah pergi. Raga si kasir telah kosong, di kerumuni orang-orang sekitar minimarket. Luka dalam terlihay di kepala si kasir, dan Tuhan telah jauh dari raga si kasir.

Begitulah hidup manusia, keakuan akan hilang ketika kata inna lillahi telah terucap, dan Tuhan telah jauh. Roh menunggu waktu untuk digugat.
Begitulah keseharian Herman, membaca kapan daun terakhir dari orang-orang akan jatuh. Kelak, ia akan membaca daun terakhir pohon kehidupannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun