Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Seperti Maling Saja

23 Maret 2016   16:24 Diperbarui: 24 Maret 2016   21:59 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi: Karya Greythama Tornado pada Cerpen: Sepasang Kekasih Di Bawah Reruntuhan"][/caption]Semuanya kacau. Kami tertangkap basah.

Aku sudah memberitahunya. Berulang kali. Demi Tuhan. Tapi Hanta tetap ngeyel dan berjalan terburu-buru, menciptakan masalah yang sungguh besar bagi kami berdua.

“Kamu akan membangunkan seseorang kalau berisik begini,” kataku memperingatkannya.

Langkah tap-tap-tap-nya di lantai kayu menggema ke seantero rumah, tanpa bisa dicegah. Semua orang bisa mendengarnya, kukira.

“Itu wajar,” dia berkata sambil terus berjalan di depanku. “Sekarang ‘kan sudah jam enam pagi. Tidak aneh kalau orang-orang mulai bangun.”

“Jangan bercanda, babi,” aku memakinya dengan suara rendah. “Kalau kita tertangkap, kita akan mati.”

“Enggak akan ada yang mati,” ujarnya santai. “Semua yang kita butuhkan sudah ada.”

“Semua?”

“Segala yang dibutuhkan maling. Kecuali—”

“Kecuali apa?”

Hanta seketika berhenti dan memandangku tajam—tentu saja itu hanya perasaanku saja, karena pada saat itu seluruh ruangan begitu gelap, hampir-hampir seperti isi pensil. Lalu dia memegang tanganku. Tapi belum sempat mengatakan apapun, lampu di kamar Rosie tiba-tiba menyala dan terdengar suara orang bangkit dari ranjang di kamar lainnya.

“Kamu dengar itu?” tanyaku seketika, dan secara otomatis melepaskan pegangan tangannya. Hanta mengangguk. Tapi hanya itu. Dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang diperlukan dalam keadaan seperti ini, seperti panik.

“Ayo sembunyi disana,” kataku menuding sebuah celah diantara tangga. Jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat kami berdiri sekarang. Kami buru-buru menyelip disana. Aku masuk duluan, kemudian Hanta menyusul. Celahnya sangat sempit sehingga kami terpaksa berdempetan seperti setangkup roti.

“Kuharap ini terakhir kali kita bersembunyi begini,” kataku.

“Itu mustahil.”

“Kok?”

“Sepanjang hidup kita,” cetus Hanta lirih, “kita akan selalu bersembunyi dan saling menyembunyikan satu sama lain.”

“Apa maksudmu?”

“Filosofi.”

“Apa?”

“Ingat ini baik-baik,” ujarnya serius. Seperti motivator saja, pikirku. “Maling selalu bersembunyi,” katanya melanjutkan, “karena kalau tidak mereka akan tertangkap. Pada satu titik, semua orang adalah maling. Mereka mencuri berbagai hal, sadar atau tidak sadar. Mereka mencuri gagasan, gerak tubuh, bahkan posisi ngentot. Cuma hebatnya, mereka pintar menyembunyikannya, sampai-sampai diri mereka sendiri tidak sadar kalau mereka sedang menyembunyikan sesuatu. Dan—”

“Pelankan suaramu,” aku memperingatkan. “OK,” sahutnya, kemudian melanjutkan:

“Dan ketika mereka dituduh telah melakukannya, mereka akan—”

“Hei,” aku memperingatkannya lagi. “Pelankan suaramu. Aku tak menyangka kamu bisa melakukan tindakan bodoh seperti ini berturut-turut.”

“Tenanglah,” kata Hanta. Lalu, dengan sedikit gerakan kepala memutar, dia mencium keningku. “Kita tak akan tertangkap,” katanya. “Kita akan menikah seperti janjiku. Kalau pun kita tertangkap, setidaknya itu akan terjadi bertahun-tahun setelah kita menikah.”

Hanta kembali menciumku. Kali ini di bibir.

Dari tempat kami bersembunyi, aku bisa melihat sebentuk bayangan keluar dari satu kamar yang terletak di samping ruang tamu. Menilai dari bentuk badannya, yang satu ini adalah seorang perempuan. Sudah tiga orang yang bangun, pikirku, setengah dari seluruh penghuni rumah.

“Apa yang akan kita lakukan untuk melarikan diri?” tanyaku. “Tidak ada,” sahut Hanta.

“Apa?” Kali ini aku benar-benar panik. “Apa maksudmu?”

“Kita tidak mencuri apapun di rumah ini,” katanya, yang bagiku cukup mengejutkan, “kecuali kesempatan berharga untuk bicara seperti sekarang ini,” yang lebih mengejutkan.

“Kamu mabuk?” “Enggak.”

“Memangnya mereka sudah memindahkan isi brankasnya?”

“Enggak,” sahutnya. “Lalu?” aku mengejar.

“Itu enggak penting lagi,” katanya. “Kita tak memerlukannya lagi. Kita tak perlu mencuri apapun dari rumah ini. Lihat, kita punya segalanya sekarang.”

“Kurasa ini bukan momen yang pas bertingkah melankolis begini,” kataku sedikit gusar. “Kita bicara lagi nanti kalau sudah keluar dari rumah ini.”

“Enggak,” dia tersenyum—kurasa dia tersenyum.

“Ayolah,” kataku membujuk. “Kenapa kamu keras kepala begini!”

“Kenapa kamu berbohong padaku?” “Tentang apa?”

“Kamu bukan maling amatiran. Kamu pintar bersembunyi dan menyembunyikan sesuatu. Kamu pernah mencuri perhiasan istri gubernur, pernah nyolong kotak amal, berhasil ngembat tas Hermes Syahrini. Kamu maling yang hebat. Aku tahu itu, kamu tahu itu. Tapi ada satu hal yang mungkin tidak kamu sadari sepenuhnya.”

“Apa itu?”

“…”

Aku mendengarkannya baik-baik. Aku tahu dia hanya mencari-cari kesempatan untuk bisa mengobrol denganku. Aku bahkan tidak sedang berbohong padanya. Aku tahu itu. Tapi permainan ini begitu menarik perhatianku. Tanpa aku sangka, obrolan kami terus berlanjut. Obrolan yang kenes, sampai-sampai membuatku lupa pada alasan kenapa kami berada di celah sempit tersebut.

Makin lama, wajah Hanta terlihat makin jelas—rahang yang kuat dan alis tebal mengepak. Gelap makin terpojok. Cahaya matahari pertama, yang tipis dan keputihan seperti kuah sup, masuk ke dalam rumah dan memperjelas apa yang sedang terjadi. Semua penghuni rumah sudah bangun, itu yang harus kukatakan. Dari arah dapur, aroma masakan matang pekat tercium. Dengan kata lain, kami tidak tersembunyi lagi oleh apapun. Kami begitu nyata disana, berdempet seperti setangkup roti. Tiba-tiba (anehnya, semuanya terasa tiba-tiba) Rosie muncul dari ruang tamu dan berjalan mendekat ke arah kami, lalu berkata, tanpa nada terkejut sama sekali, “Kalian harusnya pergi sebelum matahari terbit. Tapi santai saja, sekarang, semuanya sudah jelas.” 

Sebelum pergi, Rosie sempat menawari kami sarapan bersama. Tetapi kami menolak dan memilih melanjutkan obrolan.

 

Tampaksiring, 7 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun