Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Seperti Maling Saja

23 Maret 2016   16:24 Diperbarui: 24 Maret 2016   21:59 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Itu enggak penting lagi,” katanya. “Kita tak memerlukannya lagi. Kita tak perlu mencuri apapun dari rumah ini. Lihat, kita punya segalanya sekarang.”

“Kurasa ini bukan momen yang pas bertingkah melankolis begini,” kataku sedikit gusar. “Kita bicara lagi nanti kalau sudah keluar dari rumah ini.”

“Enggak,” dia tersenyum—kurasa dia tersenyum.

“Ayolah,” kataku membujuk. “Kenapa kamu keras kepala begini!”

“Kenapa kamu berbohong padaku?” “Tentang apa?”

“Kamu bukan maling amatiran. Kamu pintar bersembunyi dan menyembunyikan sesuatu. Kamu pernah mencuri perhiasan istri gubernur, pernah nyolong kotak amal, berhasil ngembat tas Hermes Syahrini. Kamu maling yang hebat. Aku tahu itu, kamu tahu itu. Tapi ada satu hal yang mungkin tidak kamu sadari sepenuhnya.”

“Apa itu?”

“…”

Aku mendengarkannya baik-baik. Aku tahu dia hanya mencari-cari kesempatan untuk bisa mengobrol denganku. Aku bahkan tidak sedang berbohong padanya. Aku tahu itu. Tapi permainan ini begitu menarik perhatianku. Tanpa aku sangka, obrolan kami terus berlanjut. Obrolan yang kenes, sampai-sampai membuatku lupa pada alasan kenapa kami berada di celah sempit tersebut.

Makin lama, wajah Hanta terlihat makin jelas—rahang yang kuat dan alis tebal mengepak. Gelap makin terpojok. Cahaya matahari pertama, yang tipis dan keputihan seperti kuah sup, masuk ke dalam rumah dan memperjelas apa yang sedang terjadi. Semua penghuni rumah sudah bangun, itu yang harus kukatakan. Dari arah dapur, aroma masakan matang pekat tercium. Dengan kata lain, kami tidak tersembunyi lagi oleh apapun. Kami begitu nyata disana, berdempet seperti setangkup roti. Tiba-tiba (anehnya, semuanya terasa tiba-tiba) Rosie muncul dari ruang tamu dan berjalan mendekat ke arah kami, lalu berkata, tanpa nada terkejut sama sekali, “Kalian harusnya pergi sebelum matahari terbit. Tapi santai saja, sekarang, semuanya sudah jelas.” 

Sebelum pergi, Rosie sempat menawari kami sarapan bersama. Tetapi kami menolak dan memilih melanjutkan obrolan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun