“Sudah jam tujuh lewat,” kata Ibuku gusar. Pesta belum juga dimulai. Belum ada undangan yang datang. Ibuku menyarankan supaya pestanya dibatalkan saja. “Sudah terlalu malam,” dia berkata penuh penyesalan. Tapi aku bersikeras sambil menunjukkan wajah hampir menangis sehingga dia akhirnya mengalah. Kami menunggu selama satu jam, atau mungkin lebih. Selama itu dia berjalan mondar-mandir penuh harap, sedangkan aku duduk memandangi kue ulang tahunku. Tetapi tetap saja, tidak seorang pun nongol. Pada akhirnya aku menyerah.
Ini pesta ulang tahun paling buruk dalam hidupku.
Aku segera menelepon Gelgel untuk menceritakan apa yang terjadi. Di ujung sambungan, aku mendengar Gelgel tertawa gembira dengan teman-temannya. Aku juga bisa mendengar suara orang-orang mengobrol, sehingga, secara otomatis aku melupakan niatku dan bertanya, “Pestanya ramai, ya?”
“Tidak juga,” sahutnya. Dia menunggu beberapa saat sampai suasana agak tenang. “Hanya ada beberapa orang.”
“Bagaimana pestanya?”
“OK kok,” sahutnya. “Bagian terhebatnya adalah semua undangan yang datang sama sepertiku, mereka tidak pernah memakai sepatu.”
“Kelihatannya mereka semua menyenangkan,” kataku. Aku memindahkan gagang telepon ke tangan kiri. “Pastinya tak ada tai ayam yang berserakan di rumahmu.” Kami tertawa bersama-sama.
“Bagaimana di sana?”
“Bagus,” sahutku. “Aku mau tidur dulu, ya,” cetusku kemudian, berbohong. “Aku benar-benar lelah. Orang-orang yang datang tadi sangat ramai, kamu tahu.”
“OK-lah,” katanya. “Sampai jumpa.”
Lalu dia menutup teleponnya segera setelah mengucapkan selamat ulang tahun untukku.