Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Mengikatkan Tali Sepatu

10 Maret 2016   19:17 Diperbarui: 12 Maret 2016   20:24 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: hdw.eweb4.com"][/caption]Sepatu

Tidak seorang pun mengenal Gelgel kecuali aku. Setiap kali aku bertanya pada teman-teman sekelasku, jawabannya selalu sama, tidak ada orang bernama Gelgel dan mereka akan segera mengalihkan pembicaraan tentang ikatan tali sepatuku. Aku melihat ke bawah. Mereka benar, ikatan tali sepatuku terlalu mudah lepas.

Gelgel bilang padaku bahwa itu bukan masalah. Aku tinggal melepaskan sepatu dan bertelanjang kaki. Menurutnya, itu jauh lebih mengasyikkan daripada terbebani oleh gagasan praktis seperti itu. Bagaimana kalau aku menginjak berakan anjing atau ayam, tanyaku suatu kali. Dia tertawa dan berkata, “Setidaknya sepatumu masih bersih.”

“Apa tidak lebih baik kalau kamu mengajariku mengikat tali sepatu?” usulku.

“Boleh,” dia menyetujui. “Tapi aku belum pernah memakai sepatu sebelumnya.”

“Jadi, apa kamu bisa?”

“Tentu.”

Tapi memang dasarnya aku bebal, aku tak kunjung bisa.

Lagi-lagi Sepatu

H-2 ulang tahunku yang kesembilan, aku begitu bersemangat. Ibuku berjanji akan mengadakan pesta yang meriah dan memperbolehkanku mengundang semua teman-temanku. Dia juga sudah memesan kue yang besar untuk ditancapi lilin-lilin berwarna merah di atasnya. Secara khusus aku memberikan undangan kepada Gelgel dengan tulisan, “Kamu harus datang! Ini akan jadi pesta yang menyenangkan :)” Tapi, dengan menyesal dia bilang tidak bisa datang karena pada hari itu dia juga berulang tahun.

Begitu hari H, aku memakai pakaian terbaikku dan duduk di sofa menunggu teman-temanku datang. Kue sudah siap. Makanan dan minuman ditata sedemikian rupa di atas meja, bagus sekali. Segalanya tampak OK. Aku tak menyangka Ibu benar-benar melakukannya.

“Sudah jam tujuh lewat,” kata Ibuku gusar. Pesta belum juga dimulai. Belum ada undangan yang datang. Ibuku menyarankan supaya pestanya dibatalkan saja. “Sudah terlalu malam,” dia berkata penuh penyesalan. Tapi aku bersikeras sambil menunjukkan wajah hampir menangis sehingga dia akhirnya mengalah. Kami menunggu selama satu jam, atau mungkin lebih. Selama itu dia berjalan mondar-mandir penuh harap, sedangkan aku duduk memandangi kue ulang tahunku. Tetapi tetap saja, tidak seorang pun nongol. Pada akhirnya aku menyerah.

Ini pesta ulang tahun paling buruk dalam hidupku.

Aku segera menelepon Gelgel untuk menceritakan apa yang terjadi. Di ujung sambungan, aku mendengar Gelgel tertawa gembira dengan teman-temannya. Aku juga bisa mendengar suara orang-orang mengobrol, sehingga, secara otomatis aku melupakan niatku dan bertanya, “Pestanya ramai, ya?”

“Tidak juga,” sahutnya. Dia menunggu beberapa saat sampai suasana agak tenang. “Hanya ada beberapa orang.”

“Bagaimana pestanya?”

“OK kok,” sahutnya. “Bagian terhebatnya adalah semua undangan yang datang sama sepertiku, mereka tidak pernah memakai sepatu.” 

“Kelihatannya mereka semua menyenangkan,” kataku. Aku memindahkan gagang telepon ke tangan kiri. “Pastinya tak ada tai ayam yang berserakan di rumahmu.” Kami tertawa bersama-sama.

“Bagaimana di sana?”

“Bagus,” sahutku. “Aku mau tidur dulu, ya,” cetusku kemudian, berbohong. “Aku benar-benar lelah. Orang-orang yang datang tadi sangat ramai, kamu tahu.”

“OK-lah,” katanya. “Sampai jumpa.”

Lalu dia menutup teleponnya segera setelah mengucapkan selamat ulang tahun untukku.

Selama beberapa waktu, aku berdiri bisu memandangi gagang telepon. Tanpa kusadari, Ibu sudah berdiri di belakangku.

“Jangan bersedih,” dia menepuk pundakku. “Ibu punya sesuatu yang akan membuatmu merasa mendingan.”

Dia kemudian menghilang ke dalam kamarnya dan keluar membawa sebentuk kotak yang dibungkus kertas bergambar Hello Kitty. Dia menyerahkannya padaku, lalu aku membukanya secepat yang kubisa.

“Apa ini?” tanyaku. “Sepatu,” sahut Ibu.

Aku melihatnya baik-baik. Tak ada apapun dalam kotak tersebut. Sambil memikirkan Gelgel, aku kemudian mengenakan apa-yang-disebut-sepatu-oleh-Ibuku itu dengan gembira. Ketika aku selesai dan hendak menunjukkan betapa cocok sepatu itu untukku, aku menyadari kalau tubuh Ibu memudar, berangsur-angsur, dimulai dari kaki ke kepala, hingga hilang sepenuhnya.

Aku berkata pada diriku sendiri, jangan khawatir. Dia akan kembali—mungkin tidak dalam waktu dekat.

(Tampaksiring, 28 Februari 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun