Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semua Orang Akan Senang Menangis Disana

4 Juli 2015   22:25 Diperbarui: 4 Juli 2015   22:25 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Bagaimana mungkin cuma aku?” sahut Gede. Dia mengubah posisi duduknya sehingga menghadap ke Lutfi. “Lalu kau kemanakan bapak dan ibumu? Mereka juga ingin kau merayakannya.”

Lutfi berlagak tuli. Wajahnya agak memerah. “Meski begitu, aku tetap tak mau,” katanya.

“Kau selalu bilang tak mau,” kata Gede. “Tapi akhirnya kau lulus juga, ‘kan?”

“Kau tahu kenapa itu terjadi dan kau seharusnya mengerti,” pungkas Lutfi.

Angin bertiup agak kencang. Suara kendaraan yang sesekali lewat terdengar seperti desing nyamuk atau lalat. Dari saku celana, Gede mengeluarkan sebungkus rokok Djarum. Dia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam hingga baranya meneteskan darah. Dia menghembuskan asapnya dalam satu tiupan yang malas dan lemas. Bau tembakau meruap menyesaki mobil.

Di dekat sebuah warung yang mereka lewati, Lutfi melihat seekor anjing hitam ditendangi oleh dua orang pemuda. Pemuda pertama rambutnya pendek rapi dengan celana panjang yang terlihat kedodoran. Sementara yang satunya mengenakan baju berwarna merah cerah dan menggenggam balok kayu. Dua pemuda itu mengingatkannya pada anjing yang dulu dipeliharanya bersama Gede. Anjing yang karena saking nakalnya terkadang terpaksa mereka pukuli. Suatu siang anjing itu lepas dan lari ke jalan. Mereka tak berusaha mengejarnya. Sorenya anjing itu kembali dengan menyeret tubuhnya sendiri. Kaki belakangnya remuk. Terlindas. Lutfi sedih melihat anjingnya. Lebih sedih lagi karena anjingnya tak mati saat itu juga. Sebab seandainya itu yang terjadi, anjingnya tak perlu mengalami kesusahan tiap kali musim kawin. Setelah kecelakaan itu anjingnya selalu terlihat murung.

Di depan mereka tikungan yang agak tajam menunggu. Lutfi mengurangi kecepatannya. Sesekali dia melihat ke belakang dari kaca spion. Setelah dua jam menyetir dia merasakan punggungnya mulai sakit. Lalu dia berusaha menegakkan tubuhnya untuk melemaskan otot. Ketika mereka hampir melewati tikungan itu, Lutfi melihat sesuatu tergeletak di depan mereka. Dia menatap lurus melewati kaca matanya. “Apa itu?” katanya pada diri sendiri. Sesaat kemudian, seperti mendapat satu tinju di bibir mendadak Lutfi berteriak histeris, “Lihat! Lihat!” Guncangan mobil dan suara benturan yang lemah mengikuti kemudian. Gede meremas sabuk pengaman dengan erat dan menggigit rokoknya kuat-kuat.

Teriakan Lutfi yang terdengar seperti teriakan orang yang hampir ditabrak shinkansen mengejutkan Gede. “Ada apa?” tanyanya.

“Ya, Tuhan,” gumamnya. Mulut Lutfi terus berdecak-decak heran dari balik kemudi.

Tanpa menoleh, dengan tangan kiri Lutfi menunjuk ke belakang. Patahan ranting pohon tergeletak di tengah jalan. Ranting itu sebagian besar berada di lajur berlawanan. Hanya ujungnya yang masuk ke lajur mereka.

“Memangnya kenapa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun