“Kau kekanak-kanakan,” kata Lutfi kemudian.
Tepat di belakang mereka, satu sedan Mercedez putih melaju tak sabaran. Mobil itu memepet mereka terus-menerus. Sedikit saja jalanan di depannya lurus, mobil itu akan langsung mengklakson bertubi-tubi serta mengedipkan lampu jauh; minta ruang untuk mendahului. Namun, terus gagal. Sebab, belokan selalu keburu muncul. Agak jauh di belakangnya sebuah truk pengangkut pasir terlihat tersengal-sengal meratapi beban di baknya.
Gede mendengus pelan. Matanya memandang jauh ke barat. “Hey, kenapa tidak kita lupakan saja monyet-monyet itu,” ujarnya. “Bukankah kita ke Tamblingan untuk merayakan kelulusanmu? Kau telah menjadi sarjana.”
Lutfi tersenyum kecut. Ujung matanya melirik kaca spion tengah. Dari sana dia bisa melihat Mercedez putih itu. Mobil itu berkilau seperti lampu neon dan membuatnya agak silau. Ketika kemudian dia mengalihkan pandangannya ke depan, dia merasa seolah-olah dari arah berlawanan lewat sebuah Mercedez dengan warna serupa.
“Aku tak ingin merayakannya,” kata Lutfi agak lama kemudian.
“Tentu saja kau ingin.”
“Tidak,” kata Lutfi sambil lalu.
“Jangan berpura-pura.”
“Andai saja,” sergah Lutfi. “Setahuku kau yang begitu ngebet merayakannya.”
“Aku?” kata Gede sedikit mengangkat bahunya. “Ayolah!”
“Kau memang tipikal orang yang ingin merayakan segala hal.”