Mohon tunggu...
Sukma WijayaHasibuan
Sukma WijayaHasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum UIN Jakarta

Saya merupakan mahasiswa hukum dari program studi Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mahasiswa yang tertarik dengan dunia organisasi, juga senang dibidang riset, atau mendraf khsusnya dibidang hukum, disamping itu sebagai mahasiswa, saya juga mengagumi permainan musik seperti gitar, di dalam didunia pendidikan saya senang mempelajari hal-hal baru dan menuliskan ide-ide diberbagai platform, terlepas dari pada itu saya juga selalu meng up-grade keterampilan komunikasi sehingga menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian saya ingin merepresentasikan keilmuan saya khususnya dibidang hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Quo Vadis RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Dua Dekade Tanpa Kepastian Hukum

18 November 2024   11:21 Diperbarui: 18 November 2024   11:25 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hakikatnya kita perlu membuka dan mengulas lembaran perjuangan dimasa kelam, dimana 20 tahun yang lalu dimulainya perjuangan yang sampai hari ini juga RUU Perlindunagan Pekerja Rumah Tangga belum juga di sahkan sehingga ketidak pastian hukum kian mencekam dilubuk hati yang terdalam seorang pekerja rumah tangga, apa yang menjadi problem dalam RUU ini, apakah kita mencoba melupakan atau bahkan tidak menganggap ini adalah hal yang dibutuhkan, dan bagaimana perjuangan yang telah di lakukan selama ini. Pertama bahwa basis dari filosofi negara Indonesia yang pada hakikatnya adalah negara yang berdasarkan hukum atau rechstaat,sebagaimana termaktub pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “negara Indonesia adalah negara hukum” Bahwa Pernyataan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menjadikan segala aspek dalam praktek ketatanegaraannya telah di atur dalam peraturan perundang-undangan, karena hukum merupakan suatu pilar penting yang menjadi dasar demokrasi yang paling tinggi. Hal ini juga sesuai sebagaimana tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi mengamanatkan kepada negara dalam hal ini yaitu Pemerintah untuk senantiasa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Salah satu wujud dari usaha pengimplementasian tujuan negara tersebut yaitu dengan memberikan segenap perlindungan kepada warga negara sebagai bagian dari unsur bangsa dan tumpah darah Indonesia, yang salah satu wujudnya yaitu dalam bentuk pemenuhan serta perlindungan hak-hak dasar dalam rangka peningkatan kualitas hidup warga negara menuju masyarakat yang sejahtera atau walfare state. Namun hal ini tidak sejalan sebagaimana problematika yang tak juga usai hingga kini, hari demi hari telah berlalu tahun demi tahun silih berganti, yang pada fakta empirisnya minim regulasi atas kebijakan yang ada di negeri ini, problematika itu adalah Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ( RUU Perlindungan PRT) . Masalah yang sampai   detiki ini belum juga selesai dan hanya sampai pada narasi Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan hari ini masih menunggu demi mendapatkan kepastian hukum sebagaimana amanat undang – undang dasar tahun 1945 untuk mendapatkan perlindungan dan juga perhatian dari negara, sehingga penulis ingin membahas lebih komprehensif lagi atas urgensitas dari pada Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Terkait hal demikian sejatinya Fenomena Pekerja Rumah Tangga (PRT) diperkirakan telah ada sejak zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga sesudah Indonesia merdeka. Dua faktor utama yang melatarbelakangi kehadiran PRT adalah kemiskinan dan faktor kebutuhan tenaga di sektor domestik yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Dari hal tersebut memunculkan sebuah hegemoni dimana zaman semakin berkembang dan harus menghargai atas prinsip-prinsip manusia agar lebih manusiawi, sehigga diprakarsainya untuk memperjuangkan sebuah harapan, khususnya perempuan yang menjadi pilar utama sebagai korban dari sistem tersebut, maka value Feminist Legal Theory (FLT) hadir untuk memberikan angin segar, bahwa dengan Hadirnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini adalah hasil pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum5 dengan kata lain bahwa ini merupakan gerakan sosial (social movement) yang dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki untuk meningkatkan kedudukan dan peran kaum perempuan serta memperjuangkan hak-hak yang dimiliki oleh keduanya secara adil. 

Feminisme menurut Manggi Humin adalah sebuah ideologi pembebesan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin. Adapun menurut Mansour Fakih, feminisme adalah gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan di eksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. 

Secara Sosiologis bahwa jumlah PRT di Indonesia berdasarkan survei ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 4,2 Juta, angkat cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak di akui dan di lindungi. Secara Kuantitas jumlah pekerja ruamah tangga tergolong tinggi di dunia, jika dibandingkan oleh beberapa negara di Asia, India, 3,8 Juta dan Filipina 2,6 juta Persentase PRT mayoritas perempuan ( 84 % ) dan anak 14 % yang rentan eksploitasi, resiko terhadap human Trafficking atau tindak pidana perdagangan anak Sementara dari data yang lalu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2008, jumlah PRT di Indonesia mencapai 1.714.437 jiwa, dan 202.235 jiwa (11,79%) diantaranya adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) yang berumur dibawah 18 tahun, dan 90% diantaranya adalah PRT perempuan. Pada beberapa wilayah, persentase jumlah PRT perempuan bahkan lebih tinggi lagi. Hasil penelitian International Labour Organization-International Progamme on the Elimination of Chil Labour/ ILO-IPEC pada 234 responden di Jakarta Timur dan Bekasi menunjukkan bahwa 226 (96,7%) PRT berjenis kelamin perempuan 

Bedasarkan pemaparan tersebut maka penulis ingin mengulas secara komprehenif dari pada pembahasan menganai Urgensi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Ditinjau Berdasarkan Undang Undang Dasar Tahun 1945. 

 Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah bagaimana urgensitas dari pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di tinjau berdasarkan UUD Tahun 1945 ?

Esensi sejati dari pada Poblematika ini jika kita melihat dan memahami Secara Filosofis bahwa hadirnya UU PKRT adalah merupakan kristalisasi dari tidak ketidak optimalan atau belum tercapainya Perlindungan martabat kemanusaiaan sesuai dengan UUD tahun1945 dalam politik perlindungan pekerja ruma tangga11 hal ini menjadi ketidak konsistenan pemerintah dalam memenuhi hak konstitusional warga negara sebagai mana tujuan dari pada negara yang termaktub Pembukaan alenia ke empat Undang – Undang Dasar Tahun 1945. sebagaimana dalam inskonstitusi telah di dijamin sebagaimana yang termaktub pada Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya Udang Undang Dasar juga menegaskan pada Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Prinsip atau value yang termaktub pada pasal 28D ayat (1) adalah berkenaan salah satu hak asasi manusia yang telah di rumuskan dalam kosntitusi adalah asas equality before the law13berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini yang menjadikan landasan yuridis konstitusional bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh perlindungan hukum mengenai bentuk jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, atas dasar bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Namun Hari ini yang terjadi adalah bahwa PRT tergolong angkatan kerja tetapi tidak diakui sebagai pekerja, dimana jika kita merujuk kepada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh Pasal 1 angka 3 rnenyebutkan bahwa, Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Atas penjelasan tersebut seharusnya pekerja Rumah Tangga termasuk dalam pekerja kerja sektor formal yang dilindungi oleh ketentuan undang-undang14 Secara yuridis bahwa promblematika dalam RUU PKRT dalam hal ini UU Nomor 13 tahun 2003 tidak mengakomodir hak-hak dari Pekerj Rumah Tangga, yang pada kesemaptan ini kata pekerja yang di sandang oleh pekerja rumah tangga belum menjadikan representatif dari pada hak-hak yang sesuai dengan konstitusional, dalam artian mereka belum termasuk dari pada orang yang di sebut pekerja, namun pada fakta empirsnya sejatinya mereka adalah pekerja yang secara konsekuen tetap melakukan hak dan kewajibannya sebagai pekerja, sehingga ke inskonsistenan dari pada UU ketenagakerjaan dalam hal ini mengenai hak Pekerja Rumah tangga belum terpenuhi secara efektif dan tidak melegitimasi dari pada hak-hak pekerja rumah tangga dan sangat bersifat diskrimiasi bagi mereka yang selama ini telah bekerja dan tidak ada kepastian hukum. 

Sehingg hadirnya Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan khusus tenga kerja bahwa undang-undang ini belum mampu memberikan manfaat, maupun kepastian hukum bagi perkerja rumah tangga karena menimbulkan ketidak adilan bagi pekerja rumah tangga, karena sebagaimaan kita ketahui bahwa prinsip hukum seogianya harus mampu merepresentatifkan tiga pilar pondasi hukum yaitu keadilan kepastian dan kemanfaatan sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Gustav Radbruch. Seiring waktu maka lahir lah gerakan untuk mengangkat di hadirkannnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Namun jika kita menilik secara komprehensif bahwa sejatinya RUU ini meskipun sudah masuk kepada Program Legislatif nasional atau Prolegnas semenjak tahun 2004, namun sampai hari ini belum juga di sahkan. 

Padahal jika melihat secara subjek PRT sejatinya secara frasa Pekerja sudah memenuhi unsur, melihat dari unsur-unsur yang ada bahwa pekerja rumah tangga dimana mereka yang mengerkakan dari pekerjaan yang di beri dan menerima upah dari pemberi kerja, maka seoginya sudah selayaknya untuk mendapatkan perlindungan atau memberi kepastian berupa payung hukum bagi mereka sebagai pekerja rumah tangga. Dimana jika kita melihat secara Komprehensif dari sisi Urgensitas bahwa ini sudah selayaknya Pekerja Rumah tangga mendapatkan perlindungan khsusnya secara lelagitas hukum dikarenakan wilayah kerjanya yang bersifat domestik dan berada di wilayah perifat secara mutatis mutandis ini rentan menimbulkan kekerasan dan ketidak adilan.

Namun hal cita-cita agar disahkannya RUU Perlindungan PRT ini belum dapat di selsaikan, Rancanga UU ini telah menginjak usia 16 tahun namun belum juga terselesaikan. Dimana RUU Perlindungan PRT yang lagi-lagi gagal untuk dibawa ke paripurna pada 16 Juli 2020 karena dalam pembahasannya masih adanya fraksi yang menolak, walau sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) prioritas pada tahun 2020. 

Disamping itu jika melihat dari pada Advokasi mengenai RUU ini dapat di katakan telah sering dilakukan dan mampu mengantarkan RUU ini sampai pada Program Legislasi Nasional ( Prolegnas ), namun belum juga di sahkan menjadi undang undang, meskipun advokasiJaringan Advokasi Nasional untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (the Jaringan selanjutnya) menyusun RUU untuk melindungi pekerja rumah tangga dan menerbitkan makalah kebijakan akademik yang memperdebatkan perlunya hukum nasional. Organisai atau LSM juga berusaha untuk Melakukan bekerja sama dengan organisasi lain dan jaringan; dan kemudian advokasi di lakukan untuk melobi parlemen dan pemerintah untuk memberlakukan Perlindungan terhadap RUU Pekerja Rumah Tangga, LSM juga berupaya mengadvokasi ratifikasi ILO Konvensi No. 189/2011

Hal ini justru berbeda dengan di bentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, keberhasilannya ditandai dimana dalam konsideran UU tersebut menjelaskan bahwa banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga dimana ini pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi dimana yang sering menjadi korban adalah perempuan, sehingga perlu mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan Dalam hal ini Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya meningkat.Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual.Kekerasan ini terjadi di ranah domestik (rumah tangga dan dalam relasi intim lainnya), di wilayah publik dan juga dalam relasi warga dengan negara.

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu dari bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi.Dalam rentang waktu 2001 sampai dengan 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.18Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2012 meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Dalam 3 tahun terakhir (2013 – 2015) kasus kekerasan seksual berjumlah ratarata 298.224 per tahun.20 Konstruksi sosial budaya masyarakat yang patriarkhis menyebabkan warga negara yang paling menjadi korban kekerasan seksual bukan saja  perempuan dewasa,tetapi juga perempuan dalam usia anak.21 Hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan merupakan hak yang sangat penting untuk diejawantahkan. Pemenuhan hakini jugaberhubungan dengan hak konstitusional lainnya, yaitu hak atas perlindungan dan hak atas keadilan. Hak atas perlindungan dan hak atas keadilan juga sangat penting untuk ditekankan pelaksanaannya terhadap korban dalam penanganan kasuskasus kekerasan seksual. Sehingga dalam hal ini RUU PPRT juga merupakan upaya untuk mencegah pengingkaran pelindungan terhadap warga negara yang lemah. Komnas Perempuan memiliki kepentingan yang besar untuk mendorong RUU ini disahkan karena mayoritas PRT, yakni 98% diantaranya adalah perempuan yang bekerja di dalam rumah/ ruang tertutup dengan kerentanan yang tinggi. Bahkan karena kerentanannya tersebut, Komite Menentang Penyiksaan dalam mekanisme HAM internasional, menempatkan isu PRT sebagai isu prioritas. PRT seringkali berada dalam situasi seperti tahanan, dengan jam kerja yang panjang, kondisi buruk, dan hak-hak dasar yang terabaikan, termasuk hak beribadah. Oleh karenanya, pelindungan adalah bagian dari itikad Indonesia untuk mencegah penyiksaan. 

Sehingga Diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan. Pembaruan hukum ini memiliki berbagai tujuan, diantaranya (1) melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual;(2) mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban,agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas; (3) memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual; (4) menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. 

Namun berbeda halnya dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang memiliki hambatan yang mempergaruhi mengapa sampai detik ini juga belum di sahkannya RUU Perlindugan PRT ini, salah satu alasan di jelaskan dari Dede Yusuf selaku Ketua Komisi IX DPR, dimana DPR sampai sejauh ini belum membahasnya, karena pihaknya harus memprioritaskan rancangan undang-undang disepakati untuk dibahas lebih dahulu. RUU perlindungan PRT ini Masih di dalam antrean program legislasi nasional (prolegnas). 

Sejatinya RUU Ini telah dua kali berhasil dimasukkan ke dalam prioritas prolegnas, namun karena ada beberapa RUU yang juga berstandari Prioritas yang juga harus di tuntaskan, dan RUU PRT adalah prioritas yang keempat. namun yang di lakukan pihak parlemen yang saat ini dibahas adalah prioritas satu dan dua, yang tiga dan empat tidak bisa masuk karena pembahasan (RUU) satu dan dua belum juga selesai. Dalam fakta empirisnya dimana ketika DPR akan memasukkan RUU PRT untuk dibahas, tiba-tiba ada 

RUU lain yang lebih urgent (penting) yang diminta untuk dimasukkan. Hal ini membuat RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga bergeser lagi dari program yang di kerkan terlebih dahulu. Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf menjelaskan bahwa DPR sampai sejauh ini belum membahasnya, karena pihaknya harus memprioritaskan pembahasan sejumlah RUU yang disepakati untuk dibahas lebih dahulu. Dan faktor lain yang disebutnya menghambat pembahasan RUU tersebut adalah keterbatasan DPR dalam menyelesaikan pembahasannya. Dan kemampuan pembahasan UU itu memang dalam setahun hanya dua UU. Hal ini di jelaskan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya yang mengatakan RUU PPRT dibutuhkan untuk memberi perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. 

Willy menjelaskan dalam pembahasan daftar prolegnas prioritas terjadi dinamika yang alot. Ada permintaan dari dua partai besar yang meminta agar RUU PPRT tak dimasukan ke dalam prolegnas prioritas 2021 Willy23, informasi yang dikumpulkan dua partai besar yang menolak agar RUU PPRT masuk dalam prolegnas 2021 saat rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM, adalah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Dalam rapat kerja itu, Willy yang merupakan ketua panja bersedia pasang badan dan menolak bila RUU PPRT itu tak masuk daftar prolegnas 2021. Maka rapat kerja pun akan kembali diulang Dismaping itu tidak berhasilnya Undang Undang Ini bahwa budaya lokal yang khas ini harus menjadi bahan pertimbangan tersendiri dalam penyusunan RUU PPRT., Masalah penghitungan Upah juga perlu dipertimbangkan, mengingat bagi PRT juga disediakan akomodasi dan makan di rumah pengguna jasa. Apakah komponen tersebut dimasukkan dalam Upah atau ditempatkan di luar Upah. Artinya perlu pembahasan yang mendalam untuk di sahkannya UU Perlidungan PKRT tersebut. 

Hal ini dapat kita bandingkan dengan estimasi dan efisiensi waktu tidak rasional, jika kita bandingkan dengan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 yang terdiri dari 15 bab yang di bahas dalam waktu yang singkat, hal ini mencerderai hak- hak rakyat, dimana para elit politik terllu memprioritaskan kepentingan belaka, dimana Para PRT yang terus mengalami stereotip, kekerasan, diskrimanasi, dan eksploitasi di tempat kerjanya yang dianggap privat, dan tak tersentuh mata, telinga, dan tangan publik. Persoalan yang lebih kompleks terkait sejauhmana kita, dan DPR, memahami perlindungan hak-hak PRT sebagai kepentingan publik. Banyak di antara kita yang menganggap bahkan anggota DPR tidak terkecuali, memandang persoalan PRT termasuk kebutuhan akan perlindungan hak-haknya merupakan urusan remeh temeh.

 Atas hal tersebut telah membuktikan kegagapan pemerintah sebagai stake holder yang bertugas untuk memenuhi hak rakyat yang semakin hari semakin menggrogoti dan menderogasi hak hak warga negara yang pada implementasinya tidak ada kepastian hukum yang diberikan sebagaimana amanat konstitusi yang berlaku di Indonesia. Pemerintah juga belum mampu merespon kebutuhan perlindungan bagi pekerja rumah tangga, dimana tidak memberikan manfaat, karena masih ada anggapan bahwa pekerja rumah tangga bukan termasuk wilayah pekerja, sehingga ini mencederai ruh demokrasi khususnya konstitusi tertinggi UUD tahun 1945. 

Dimana tidak adanya instrumen yang mengkapanyekan bahwa mereka itu adalah bagian dari pada pekerja, sehingga secara normatif yang terkandung dalam prasa UU Ketengakerjaan tidak menjelaskan tetang pekerja rumah tangga. atau hanya menjamin. Dengan demikian bahwa kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemegang kekuasaan (negara) melainkan juga harus dilihat dari kacamata kepentingan-kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims)26. Hal ini menimbulkan banyaknya hak yang terabaikan oleh pemerintah yang belum mampu menjadikan representatif dari pada tujuan negara agar menciptakan negara yang sejahtera atau walfare state.

Dalam hal ini Indonesia perlu studi komparatif dari negara Philipina yang menjadi salah satu negara yang sedang berusaha merumuskan perundang-undangan tentang PRT. Rancangan Undang-Undang yang ada saat ini disebut juga sebagai Batas Kasambahay atau Kasambahay Bill. Berdasarkan daraf RUU pada tahun 2005, Batas Kasambahay berlaku terhadap para PRT yang bekerja penuh waktu dan memberikan hak hak diantaranya (a) Peningkatan Upah minimum, yang dipecah menjadi tiga kategori berdasarkan lokasinya: ibukota, wilayah perkotaan lain dan wilayah non perkotaan. (b) Gaji dan bonus pada akhir tahun/ gaji bulan ketiga belas, seperti halnya praktik umum di Asia Tenggara. (c) Dicakupnya Sistem Jaminan Sosial (Social Security System/SSS) Nasional dan korporasi Asuransi Kesehatan Philipina (Philippines Health). (d) Jangka waktu, hari istirahat dan jam kerja baku (e) Cuti dengan menerima Upah (f) Santunan bersalin (g) Larangan majikan mensubkontrakkan layanan PRT kepada rumah tangga lain (h) Hak atas privasi (i) Hak untuk berkomunikasi melalui surat dengan orang-orang di luar rumah tangga (biaya ditanggung oleh PRT) (j) Hak untuk menggunakan telepon rumah sekurangkurangnya sekali seminggu (biaya ditanggung oleh PRT) dan lain lain. Dari komparatif sejatinya kita perlu membahas secara komprehensif dan mempertimbangkan dengan maksimal atas hak-hak yang selama ini belum terpenuhi selama ini, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa negara dalam konteks hak asasi manusia harus mampu menghadirkan tugas negara dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill). 

Hak Asasi warga negara baik ha k-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial budaya seperti hak atas pekerjaan, hak atas hidup layak, hak atas pendidikan, hak atas kebebasan atas perlakuan yang bersifat diskriminatif, hak atas persamaan di depan hukum, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk hidup, dan hak-hak lainnya. Disamping itu kita perlu memahami adagium klasik menyatakan “ubi societas, ibi ius”, di mana ada masyarakat maka disitu pasti ada hukum. Dari adagium ini terbaca bahwa hukum selalu berjalan seirama dengan perkembangan masyarakat. Sehingga RUU PRT tidak menjadi sesuatu hal yang dilematis atau menjadi quo vadis yang tidak ada memberikan kepastian hukum sebagai pilar penting, disamping itu perlu kita renungi sebagaimana yang disampaikan oleh Profesor Satjipto Rahardjo  Apabila hukum adalah untuk manusia maka ia tidak boleh menjadi hambatan untuk menyalurkan dinamika masyarakat. Janganlah hukum itu mempertahankan dan memaksakan suatu kontruksi yang bertentangan dengan dinamika tersebut. Hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme) namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan 

Berdasarkan pemaparan value di atas hal ini dapat kita simpulkan bahwa Urgensitas sebuah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga adalah bukti kepedulian negara kepada rakyat sebagai pemegang mandataris demokrasi yang menjadikan warga negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat, maka secara mutatis mutandi bahwa Perka Rumah Tangga perlu mendapatkan kepastian dan angin segar dari sebuah penyiksaan dan eksploitasi dari kebiadapan para majikan yang teah mengalami dekadensi moral. Hal ini juga ditegaskan bahwa secara filosofis ugensi Pekerja Rumah Tangga harus menemui titik akhir dari pengakomodiran melalui Peraturan PerundangUndangan yang sampai hari ini hanya masih berkutat pada Program Legislasi Nasioal Prioritas yang tidak kunjung mendapatkan kepastian hukum, sebagai Negara hukum yang menjadikan kristalisasi Hak Asasi Mausia adalah sebagai Instrumen dalam konsep negara hukum atau rechstaat, yang kemudian menjadikan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang rentan mendapatkan disrkriminasi dan jauh dari access to justice sehingga negara dalam hal ini harus mampu mengimplementasikan tugas negara dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill). 

Sehingga value cita-cita Indonesia dapat tercapai sebagaimana yang termaktub pada Pasal 27 (2) UUD Tahun 1945 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya Udang Undang Dasar juga menegaskan pada Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Maka, urgensitas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga harus mendapatkan kepastian hukum, demi terselenggaranya kehangatan dalam berbangsa dan benegera yang menjadi pilar penting dari berdirinya negara Indonesia. Undang-undang tidak boleh hanya rumusan kata-kata tanpa implementasi keadilan masyrakat. Jika Undang-undang hanya berupa hiasan kertas belaka namun minim implementasi dalam menggapai keadilan, maka Indonesia negara hukum tentu akan menjadi kenangan belaka.Gustav Radbruch juga mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan.

 Dari prinsip diatas maka sejalan dengan value yang termaktub pada pasal 28D ayat (1) akan sebauah asas equality before the law berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga di dukung dari representasi dari sebuah value politik hukum yang responsif, dimana hukum sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan masyarakat, karenanya diperlukan strategi dalam penyusunan Hukum, dengan demikian sudah saatnya RUU PRT harus mendapatkan cahaya terang dan mendapatkan angin segar agar tidak ada hak yang terdiskriminasi demi menggapai keadilan sebagai panglima tertinggi yang juga sejalan sebagaimana yang disampaikan oleh Profesor Satjipto Rahardjo bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final ( finite scheme),namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia, karena itu hukum harus dibedah dan digali melalui upaya upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun