Mohon tunggu...
Sukma WijayaHasibuan
Sukma WijayaHasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum UIN Jakarta

Saya merupakan mahasiswa hukum dari program studi Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mahasiswa yang tertarik dengan dunia organisasi, juga senang dibidang riset, atau mendraf khsusnya dibidang hukum, disamping itu sebagai mahasiswa, saya juga mengagumi permainan musik seperti gitar, di dalam didunia pendidikan saya senang mempelajari hal-hal baru dan menuliskan ide-ide diberbagai platform, terlepas dari pada itu saya juga selalu meng up-grade keterampilan komunikasi sehingga menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian saya ingin merepresentasikan keilmuan saya khususnya dibidang hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Quo Vadis RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Dua Dekade Tanpa Kepastian Hukum

18 November 2024   11:21 Diperbarui: 18 November 2024   11:25 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal ini Indonesia perlu studi komparatif dari negara Philipina yang menjadi salah satu negara yang sedang berusaha merumuskan perundang-undangan tentang PRT. Rancangan Undang-Undang yang ada saat ini disebut juga sebagai Batas Kasambahay atau Kasambahay Bill. Berdasarkan daraf RUU pada tahun 2005, Batas Kasambahay berlaku terhadap para PRT yang bekerja penuh waktu dan memberikan hak hak diantaranya (a) Peningkatan Upah minimum, yang dipecah menjadi tiga kategori berdasarkan lokasinya: ibukota, wilayah perkotaan lain dan wilayah non perkotaan. (b) Gaji dan bonus pada akhir tahun/ gaji bulan ketiga belas, seperti halnya praktik umum di Asia Tenggara. (c) Dicakupnya Sistem Jaminan Sosial (Social Security System/SSS) Nasional dan korporasi Asuransi Kesehatan Philipina (Philippines Health). (d) Jangka waktu, hari istirahat dan jam kerja baku (e) Cuti dengan menerima Upah (f) Santunan bersalin (g) Larangan majikan mensubkontrakkan layanan PRT kepada rumah tangga lain (h) Hak atas privasi (i) Hak untuk berkomunikasi melalui surat dengan orang-orang di luar rumah tangga (biaya ditanggung oleh PRT) (j) Hak untuk menggunakan telepon rumah sekurangkurangnya sekali seminggu (biaya ditanggung oleh PRT) dan lain lain. Dari komparatif sejatinya kita perlu membahas secara komprehensif dan mempertimbangkan dengan maksimal atas hak-hak yang selama ini belum terpenuhi selama ini, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa negara dalam konteks hak asasi manusia harus mampu menghadirkan tugas negara dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill). 

Hak Asasi warga negara baik ha k-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial budaya seperti hak atas pekerjaan, hak atas hidup layak, hak atas pendidikan, hak atas kebebasan atas perlakuan yang bersifat diskriminatif, hak atas persamaan di depan hukum, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk hidup, dan hak-hak lainnya. Disamping itu kita perlu memahami adagium klasik menyatakan “ubi societas, ibi ius”, di mana ada masyarakat maka disitu pasti ada hukum. Dari adagium ini terbaca bahwa hukum selalu berjalan seirama dengan perkembangan masyarakat. Sehingga RUU PRT tidak menjadi sesuatu hal yang dilematis atau menjadi quo vadis yang tidak ada memberikan kepastian hukum sebagai pilar penting, disamping itu perlu kita renungi sebagaimana yang disampaikan oleh Profesor Satjipto Rahardjo  Apabila hukum adalah untuk manusia maka ia tidak boleh menjadi hambatan untuk menyalurkan dinamika masyarakat. Janganlah hukum itu mempertahankan dan memaksakan suatu kontruksi yang bertentangan dengan dinamika tersebut. Hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme) namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan 

Berdasarkan pemaparan value di atas hal ini dapat kita simpulkan bahwa Urgensitas sebuah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga adalah bukti kepedulian negara kepada rakyat sebagai pemegang mandataris demokrasi yang menjadikan warga negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat, maka secara mutatis mutandi bahwa Perka Rumah Tangga perlu mendapatkan kepastian dan angin segar dari sebuah penyiksaan dan eksploitasi dari kebiadapan para majikan yang teah mengalami dekadensi moral. Hal ini juga ditegaskan bahwa secara filosofis ugensi Pekerja Rumah Tangga harus menemui titik akhir dari pengakomodiran melalui Peraturan PerundangUndangan yang sampai hari ini hanya masih berkutat pada Program Legislasi Nasioal Prioritas yang tidak kunjung mendapatkan kepastian hukum, sebagai Negara hukum yang menjadikan kristalisasi Hak Asasi Mausia adalah sebagai Instrumen dalam konsep negara hukum atau rechstaat, yang kemudian menjadikan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang rentan mendapatkan disrkriminasi dan jauh dari access to justice sehingga negara dalam hal ini harus mampu mengimplementasikan tugas negara dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill). 

Sehingga value cita-cita Indonesia dapat tercapai sebagaimana yang termaktub pada Pasal 27 (2) UUD Tahun 1945 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya Udang Undang Dasar juga menegaskan pada Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Maka, urgensitas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga harus mendapatkan kepastian hukum, demi terselenggaranya kehangatan dalam berbangsa dan benegera yang menjadi pilar penting dari berdirinya negara Indonesia. Undang-undang tidak boleh hanya rumusan kata-kata tanpa implementasi keadilan masyrakat. Jika Undang-undang hanya berupa hiasan kertas belaka namun minim implementasi dalam menggapai keadilan, maka Indonesia negara hukum tentu akan menjadi kenangan belaka.Gustav Radbruch juga mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan.

 Dari prinsip diatas maka sejalan dengan value yang termaktub pada pasal 28D ayat (1) akan sebauah asas equality before the law berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga di dukung dari representasi dari sebuah value politik hukum yang responsif, dimana hukum sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan masyarakat, karenanya diperlukan strategi dalam penyusunan Hukum, dengan demikian sudah saatnya RUU PRT harus mendapatkan cahaya terang dan mendapatkan angin segar agar tidak ada hak yang terdiskriminasi demi menggapai keadilan sebagai panglima tertinggi yang juga sejalan sebagaimana yang disampaikan oleh Profesor Satjipto Rahardjo bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final ( finite scheme),namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia, karena itu hukum harus dibedah dan digali melalui upaya upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun