Pada hakikatnya kita perlu membuka dan mengulas lembaran perjuangan dimasa kelam, dimana 20 tahun yang lalu dimulainya perjuangan yang sampai hari ini juga RUU Perlindunagan Pekerja Rumah Tangga belum juga di sahkan sehingga ketidak pastian hukum kian mencekam dilubuk hati yang terdalam seorang pekerja rumah tangga, apa yang menjadi problem dalam RUU ini, apakah kita mencoba melupakan atau bahkan tidak menganggap ini adalah hal yang dibutuhkan, dan bagaimana perjuangan yang telah di lakukan selama ini. Pertama bahwa basis dari filosofi negara Indonesia yang pada hakikatnya adalah negara yang berdasarkan hukum atau rechstaat,sebagaimana termaktub pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “negara Indonesia adalah negara hukum” Bahwa Pernyataan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menjadikan segala aspek dalam praktek ketatanegaraannya telah di atur dalam peraturan perundang-undangan, karena hukum merupakan suatu pilar penting yang menjadi dasar demokrasi yang paling tinggi. Hal ini juga sesuai sebagaimana tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi mengamanatkan kepada negara dalam hal ini yaitu Pemerintah untuk senantiasa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu wujud dari usaha pengimplementasian tujuan negara tersebut yaitu dengan memberikan segenap perlindungan kepada warga negara sebagai bagian dari unsur bangsa dan tumpah darah Indonesia, yang salah satu wujudnya yaitu dalam bentuk pemenuhan serta perlindungan hak-hak dasar dalam rangka peningkatan kualitas hidup warga negara menuju masyarakat yang sejahtera atau walfare state. Namun hal ini tidak sejalan sebagaimana problematika yang tak juga usai hingga kini, hari demi hari telah berlalu tahun demi tahun silih berganti, yang pada fakta empirisnya minim regulasi atas kebijakan yang ada di negeri ini, problematika itu adalah Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ( RUU Perlindungan PRT) . Masalah yang sampai detiki ini belum juga selesai dan hanya sampai pada narasi Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan hari ini masih menunggu demi mendapatkan kepastian hukum sebagaimana amanat undang – undang dasar tahun 1945 untuk mendapatkan perlindungan dan juga perhatian dari negara, sehingga penulis ingin membahas lebih komprehensif lagi atas urgensitas dari pada Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Terkait hal demikian sejatinya Fenomena Pekerja Rumah Tangga (PRT) diperkirakan telah ada sejak zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga sesudah Indonesia merdeka. Dua faktor utama yang melatarbelakangi kehadiran PRT adalah kemiskinan dan faktor kebutuhan tenaga di sektor domestik yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Dari hal tersebut memunculkan sebuah hegemoni dimana zaman semakin berkembang dan harus menghargai atas prinsip-prinsip manusia agar lebih manusiawi, sehigga diprakarsainya untuk memperjuangkan sebuah harapan, khususnya perempuan yang menjadi pilar utama sebagai korban dari sistem tersebut, maka value Feminist Legal Theory (FLT) hadir untuk memberikan angin segar, bahwa dengan Hadirnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini adalah hasil pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum5 dengan kata lain bahwa ini merupakan gerakan sosial (social movement) yang dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki untuk meningkatkan kedudukan dan peran kaum perempuan serta memperjuangkan hak-hak yang dimiliki oleh keduanya secara adil.
Feminisme menurut Manggi Humin adalah sebuah ideologi pembebesan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin. Adapun menurut Mansour Fakih, feminisme adalah gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan di eksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.
Secara Sosiologis bahwa jumlah PRT di Indonesia berdasarkan survei ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 4,2 Juta, angkat cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak di akui dan di lindungi. Secara Kuantitas jumlah pekerja ruamah tangga tergolong tinggi di dunia, jika dibandingkan oleh beberapa negara di Asia, India, 3,8 Juta dan Filipina 2,6 juta Persentase PRT mayoritas perempuan ( 84 % ) dan anak 14 % yang rentan eksploitasi, resiko terhadap human Trafficking atau tindak pidana perdagangan anak Sementara dari data yang lalu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2008, jumlah PRT di Indonesia mencapai 1.714.437 jiwa, dan 202.235 jiwa (11,79%) diantaranya adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) yang berumur dibawah 18 tahun, dan 90% diantaranya adalah PRT perempuan. Pada beberapa wilayah, persentase jumlah PRT perempuan bahkan lebih tinggi lagi. Hasil penelitian International Labour Organization-International Progamme on the Elimination of Chil Labour/ ILO-IPEC pada 234 responden di Jakarta Timur dan Bekasi menunjukkan bahwa 226 (96,7%) PRT berjenis kelamin perempuan
Bedasarkan pemaparan tersebut maka penulis ingin mengulas secara komprehenif dari pada pembahasan menganai Urgensi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Ditinjau Berdasarkan Undang Undang Dasar Tahun 1945.
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah bagaimana urgensitas dari pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di tinjau berdasarkan UUD Tahun 1945 ?
Esensi sejati dari pada Poblematika ini jika kita melihat dan memahami Secara Filosofis bahwa hadirnya UU PKRT adalah merupakan kristalisasi dari tidak ketidak optimalan atau belum tercapainya Perlindungan martabat kemanusaiaan sesuai dengan UUD tahun1945 dalam politik perlindungan pekerja ruma tangga11 hal ini menjadi ketidak konsistenan pemerintah dalam memenuhi hak konstitusional warga negara sebagai mana tujuan dari pada negara yang termaktub Pembukaan alenia ke empat Undang – Undang Dasar Tahun 1945. sebagaimana dalam inskonstitusi telah di dijamin sebagaimana yang termaktub pada Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya Udang Undang Dasar juga menegaskan pada Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Prinsip atau value yang termaktub pada pasal 28D ayat (1) adalah berkenaan salah satu hak asasi manusia yang telah di rumuskan dalam kosntitusi adalah asas equality before the law13berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini yang menjadikan landasan yuridis konstitusional bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh perlindungan hukum mengenai bentuk jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, atas dasar bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Namun Hari ini yang terjadi adalah bahwa PRT tergolong angkatan kerja tetapi tidak diakui sebagai pekerja, dimana jika kita merujuk kepada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh Pasal 1 angka 3 rnenyebutkan bahwa, Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Atas penjelasan tersebut seharusnya pekerja Rumah Tangga termasuk dalam pekerja kerja sektor formal yang dilindungi oleh ketentuan undang-undang14 Secara yuridis bahwa promblematika dalam RUU PKRT dalam hal ini UU Nomor 13 tahun 2003 tidak mengakomodir hak-hak dari Pekerj Rumah Tangga, yang pada kesemaptan ini kata pekerja yang di sandang oleh pekerja rumah tangga belum menjadikan representatif dari pada hak-hak yang sesuai dengan konstitusional, dalam artian mereka belum termasuk dari pada orang yang di sebut pekerja, namun pada fakta empirsnya sejatinya mereka adalah pekerja yang secara konsekuen tetap melakukan hak dan kewajibannya sebagai pekerja, sehingga ke inskonsistenan dari pada UU ketenagakerjaan dalam hal ini mengenai hak Pekerja Rumah tangga belum terpenuhi secara efektif dan tidak melegitimasi dari pada hak-hak pekerja rumah tangga dan sangat bersifat diskrimiasi bagi mereka yang selama ini telah bekerja dan tidak ada kepastian hukum.
Sehingg hadirnya Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan khusus tenga kerja bahwa undang-undang ini belum mampu memberikan manfaat, maupun kepastian hukum bagi perkerja rumah tangga karena menimbulkan ketidak adilan bagi pekerja rumah tangga, karena sebagaimaan kita ketahui bahwa prinsip hukum seogianya harus mampu merepresentatifkan tiga pilar pondasi hukum yaitu keadilan kepastian dan kemanfaatan sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Gustav Radbruch. Seiring waktu maka lahir lah gerakan untuk mengangkat di hadirkannnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Namun jika kita menilik secara komprehensif bahwa sejatinya RUU ini meskipun sudah masuk kepada Program Legislatif nasional atau Prolegnas semenjak tahun 2004, namun sampai hari ini belum juga di sahkan.
Padahal jika melihat secara subjek PRT sejatinya secara frasa Pekerja sudah memenuhi unsur, melihat dari unsur-unsur yang ada bahwa pekerja rumah tangga dimana mereka yang mengerkakan dari pekerjaan yang di beri dan menerima upah dari pemberi kerja, maka seoginya sudah selayaknya untuk mendapatkan perlindungan atau memberi kepastian berupa payung hukum bagi mereka sebagai pekerja rumah tangga. Dimana jika kita melihat secara Komprehensif dari sisi Urgensitas bahwa ini sudah selayaknya Pekerja Rumah tangga mendapatkan perlindungan khsusnya secara lelagitas hukum dikarenakan wilayah kerjanya yang bersifat domestik dan berada di wilayah perifat secara mutatis mutandis ini rentan menimbulkan kekerasan dan ketidak adilan.
Namun hal cita-cita agar disahkannya RUU Perlindungan PRT ini belum dapat di selsaikan, Rancanga UU ini telah menginjak usia 16 tahun namun belum juga terselesaikan. Dimana RUU Perlindungan PRT yang lagi-lagi gagal untuk dibawa ke paripurna pada 16 Juli 2020 karena dalam pembahasannya masih adanya fraksi yang menolak, walau sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) prioritas pada tahun 2020.