Belum lama ini saya berkesempatan untuk mengunjungi Swiss. Lumayan lama, hampir satu bulan, sehingga saya punya banyak peluang untuk mengunjungi beberapa tempat pariwisata, baik yang sudah memiliki reputasi internasional maupun hanya yang ramai dikunjungi turis lokal saja. Dikatakan turis, menurut teori pariwisata, adalah orang-orang yang berpergian dari satu kota ke kota lain, bukan berbasis rutinitas seperti bekerja atau sekolah.Â
Saya tertarik mengamati bagaimana negara ini mengelola destinasi-destinati pariwisata yang mereka miliki, lalu saya mencoba bandingkan dengan bagaimana negara kita mengelola hal-hal serupa. Untuk membuat catatan tentang destinasi-destinasi pariwisata yang saya kunjungi, saya menggunakan pendekatan formula 5A, yang terdiri dari attraction, activity, accessibility, accommodation, dan amenity.Tujuan tulisan ini bukan untuk merendahkan potensi-potensi yang kita miliki, justeru agar kita bisa benchmark meningkatkan kualitas dari destinasi pariwisata yang kita punya.
(1)Â Attraction
Attraction(atraksi) merujuk pada sesuatu yang menjadi daya tarik sebuah tempat yang membuat orang ingin berkunjung ke tempat tersebut. Secara umum, atraksi dapat dibedakan ke dalam tiga jenis. Pertama, atraksi buatan alam, contoh: pantai, gunung, sungai, gurun, dan air terjun. Kedua, atraksi buatan manusia, contoh: taman, museum, event, dan pameran. Ketiga, atraksi hibrid yang merupakan campuran antara atraksi alam dan buatan manusia, contoh: di lokasi pantai, dibangun tempat bermain, pedestrian, taman, dan jogging track. Swiss itu tidak memiliki sumber alam yang melimpah seperti Indonesia.Â
Salah satu potensi terbesar yang mereka miliki adalah dari sektor pariwisata. Swiss memiliki gunung-gunung, sungai-sungai biru bening yang airnya berasal dari bunung es, danau, sungai, dan kota-kota tua yang masih terjaga segala elemennya. Atraksi-atraksi buatan alam, tidak dibiarkan apa adanya. Gunung tidak dibiarkan menjadi gunung apa adanya. Sungai tidak dibiarkan menjadi sungai apa adanya, termasuk danau-danaunya. Mereka, sepertinya, sebisa mungkin menciptakan segala destinasi buatan alam dimodifikasi sehingga yang menarik menjadi lebih menarik.
Secara umum (lagi), produk-produk pariwisata dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, mass tourism(pariwisata masal), contohnya: urban tourism yang dapat mengundang turis dengan berbagai macam latar belakang dan minat. Kedua, niche atau alternative tourism (pariwisata alternatif) - hanya diminati oleh orang-orang tertentu, misalnya geotourism, volunteer tourism, dark tourism, volcano tourism.
Nah, hal-hal yang dilakukan oleh Swiss itu, misalnya, membuat gunung-gunung yang umumnya di negara kita hanya dikunjungi oleh orang-orang pecinta alam pendaki gunung karena medannya berat dan menyeramkan dengan berbagai bahaya yang siap mengintai, di sana, gunung-gunung dibuat sangat casual.Â
Tangga di disediakan, tempat istirahat disediakan, spot-spot menarik 'disiapkan', rambu-rambu arah diadakan, jogging track dibuat, sehingga siapa pun seolah memiliki alasan untuk mengunjungi gunung. Mengunjungi sebuah gunung, tidak berarti harus menaiki puncaknya, bahkan di lembah-lembah, di lereng-lereng, orang masih memiliki banyak pilihan untuk menikmati gunung dan bagian-bagiannya yang semuanya ditata sedemikian rupa sehingga tercipta mass tourismtadi.
Orang tidak begidikmengunjungi gunung, bahkan orang tua renta, wanita hamil, orang-orang dengan disabilitas pun masih bisa berkunjung. Pun demikian dengan destinasi buatan alam lainnya seperti sungai dan danau. Semua begitu casual dan mudah dinikmati.
Dengan membuat atraksi-atraksi buatan alam menjadi hibrid, diharapkan, segmen pengunjung dari sebuah destinasi pariwisata bisa lebih luas.
(2) Activity
Anda berkunjung ke Yogyakarta, misalnya, tidak sekedar ingin jalan-jalan di sepanjang Malioboro yang mungkin sudah pernah Anda kunjungi beberapa kali. Mungkin Anda ingin melakukan hal lain di luar itu, misalnya ikut mendesain dan membuat perhiasan perak sendiri di Kota Gede, ikut membuat lukisan di Museum Affandi, ikut mencanting, bukan menaiki becak tapi justeru mengayuh becak, bukan sekedar makan gudek tapi ikut masak bagaimana membuat gudek yang enak, bukan sekedar berkunjung ke halaman keraton tapi justeru kerja voluntir mengecat dan membersihkan lingkungan kerator, bukan menonton arak-arakan seni tapi justeru menjadi peserta arak-arakan...Â
Sejuta aktivitas. Semakin banyak pilihan aktivitas yang dapat dilakukan oleh seorang turis, akan semakin bergairah dia, akan semakin lama tinggal, akan semakin banyak uang yang dibelanjakan, akan semakin puas juga.Â
Di ibukota Swiss, Bern, ada sungai Aare yang jernih dengan arusnya yang deras. Para pengunjung, berjalan ke hulu, lalu nyemplung berenang sambil mengapung hingga ke hilir. Orang tua, orang muda, laki-laki, perempuan, semua menikmati aktivitas yang mungkin hanya asyik dilakukan pada musim panas saja ini. Bagi mereka yang ingin berenang dengan jarak yang lebih jauh, mereka akan membawa tas antiair dan memasukkan pakaian kering mereka ke dalam tas, lalu saat berenang, tas tadi mereka fungsikan sebagai pelampung. Mengingatkan masa kecil saya mengalun menggunakan ban (dalam) mobil di sungai dekat rumah di Bogor.Â
Di beberapa kota, seperti Zurich, Genewa, Bern, dan kota-kota kecil lain, ada perpustakaan kota yang bisa dikunjungi. Turis, jika lelah berjalan-jalan, bisa beristirahat sambil beraktivitas membaca buku. Bahkan ada lemari-lemari besi yang berisi buku-buku yang dapat diambil bukunya, sambil Anda boleh menyumbang buku yang Anda miliki yang sudah Anda baca. Selain itu, di lereng-lereng bukit, turis tidak sekedar bisa menikmati udara yang sehat dan pemandangan yang memanjakan mata, namun juga bisa piknik gelar tikar, berolahraga jalan dan lari, hingga paragliding. Â Â
Saya percaya, di setiap destinasi pariwisata yang ada di Indonesia sudah tersedia segudang aktivitas yang dapat dipilih oleh turis. Namun, tidak ada salahnya untuk terus kreatif dan inovatif untuk terus menciptakan aktivitas yang menyenangkan bagi turis dengan memperhatikan variasi segmen turis, agar setiap kelompok usia dapat terlayani. Dengan membuat banyak aktivitas bagi turis, diharapkan, turis tidak saja puas, tapi juga memiliki niat untuk berkunjung lagi ke destinasi tersebut.Â
(3) Accessibility
Mengunjungi kota-kota di Swiss, rasanya sudah seperti templatebaku, ada bukit/gunung, sungai, danau, dan kota dengan bangunan-bangunan antik. Hampir setiap kota dikelilingi bukit dan pegunungan. Hampir di setiap kota itu pun memiliki destinasi yang menarik untuk dikunjungi. Dan, semua destinasi tersebut begitu mudah untuk diakses: mereka yang membawa kendaraan bermotor pribadi, mereka yang ingin menggunakan alat transportasi umum, dan mereka yang ingin bersepeda. Bahkan untuk ke mengunjungi gunung-gunung dengan ketinggian tertentu, akses dibuka lebar dengan disediakannya kereta gantung.
 Semua kelompok turis dengan berbagai macam latar belakang dipermudah. Termasuk, informasi detail mengenai jenis-jenis alat angkut yang dapat dimanfaat oleh turis untuk menuju, selama, dan kembali dari setiap destinasi pariwisata. Sehingga jika turis malas bertanya atau tidak ada orang yang ingin ditanyai, informasi yang tersedia sangat membantu. Meskipun, informasi tersebut kebanyakan dalam bahasa Jerman (untuk Swiss bagian barat dan utara), Prancis (untuk Swiss bagian barat), dan Itali (untuk Swiss bagian selatan).Â
Mudah-mudahan di Indonesia, akses menuju destinasi pariwisata dibuat sedemikian mudah, murah, dan jelas, agar tidak ada alasan bagi calon turis untuk tidak mengunjungi destinasi tersebut.
(4) Amenity
Bayangkan, ketika Anda mengunjungi sebuah destinasi pariwisata, Anda lapar. Apa yang Anda cari? Ketika uang tunai Anda habis, apa yang Anda cari? Ketika tiba-tiba Anda atau rekan seperjalanan Anda sakit, apa yang Anda cari? Ketika Anda (jika perempuan) tiba-tiba datang bulan dan Anda tidak siap dengan pembalut, apa yang Anda cari? Nah, restoran, ATM, klinik, toko suvenir, minimarket, pasar, tempat karaoke, hingga gym, dapat dimasukkan ke dalam kategori amenity.Â
Mereka itu adalah sarana penunjang bagi aktivitas Anda pada suatu tempat. Secara Swiss adalah negara maju, tak saja infrastruktur, sarana apa pun yang dapat dibutuhkan oleh turis sepertinya sudah disediakan dengan matang. Semoga hal-hal tersebut juga bisa tersedia di setiap destinasi pariwisata di tanah air. Bukan berarti harus ada tempat karaoke di setiap destinasi, setidaknya, sarana-sarana dasar seperti toilet, tempat makan, dan lainnya yang penting dapat dipertimbangkan untuk hadir.Â
(5) Accommodation
Ketika tahun 2005 saya berkunjung ke pulau Bangka, hanya ada beberapa hotel yang tersedia. Niatnya mencari hotel kecil dengan harga terjangkau, eh, malah menginap di hotel besar yang harganya saat itu bagi saya lumayan mahal. Atau, pada sekitar tahun yang sama saya ke Banda Aceh, mencari hotel kecil pun sulitnya minta ampun. Akomodasi, sejatinya dapat disediakan bukan saja bagi turis berduit, namun juga bagi turis-turis dengan dana pas-pasan.Â
Pemerintah setempat, tidak saja sibuk mengejar investor pemodal besar yang mau membangun hotel-hotel besar, namun juga merangsang pemodal sedang yang mau membangun tempat-tempat penginapan berukuran kecil dan sedang. Termasuk melibatkan masyarakat untuk menyediakan kamar-kamar yang tak mereka pakai, untuk disewakan kepada turis.Â
Kondisi saat ini tentu berbeda. Membangun hotel menjadi lahan bisnis yang menggiurkan sehingga jangan heran jika hingga ke kota-kota kecil, hotel dapat dengan mudah ditemui. Selain itu, pilihan semacam Airbnb pun dapat dimanfaatkan untuk mencari pengalaman lain tinggal di rumah penduduk setempat. Nah, Swiss punya sederet jenis penginapan yang dapat dipilih oleh turis, dari yang cuma 200.000-an hingga puluhan juta semalam. Tergantung gaya hidup dan tebal tipisnya dompet Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H